Bab 8 Makan malam
Sepanjang jalan selepas Aga membawa mobil keluar area parkir, Mara menutup rapat bibirnya. Ia bahkan melayangkan pandangan ke segala penjuru kecuali pada pria yang terlihat menggenggam erat kemudi. Mara tak tahu apa yang harus dikatakan dan tak ingin memulai pembicaraan setelah aksi pemaksaan Aga. Namun, ketika melihat arah yang mereka tuju, ia tak bisa menahan diri.
"Kok ke sini?!" tanya Mara ketika Aga mengarahkan mobil memasuki area parkir salah satu kafe di jalan Sumatera. Pria yang masih menutup erat bibirnya hanya meliriknya sekilas. "Ngapain kita ke sini?" tanyanya lagi sesaat setelah mesin mobil Aga mati.
Aga tak menghiraukannya. Pria yang kini menatapnya dengan sorot mata tak bisa ia mengerti membuat keningnya mengernyit. "Makan. Karena tadi kamu enggak makan sama sekali." Mara tak percaya dengan telinganya. Ia tak tahu Aga memperhatikannya. Bahkan Dipa pun tak mengatakan apa pun ketika Mara tak menghabiskan makan malamnya seperti kebiasaannya selama ini.
"Kamu."
"Turun, yuk!" ajak Aga sambil membuka pintu. "Kalau enggak makan, kamu bisa isi perut. Jadi enggak hanya es coklat isinya." Mara memutuskan untuk menuruti perintah Aga. Ia turun dan mendekati pria yang berdiri di depan mobil, menantinya.
Kafe dengan Industrial look yang selama ini selalu menjadi tujuannya setiap kali ingin lari dari semua orang terlihat ramai. Area outdoor tampak penuh, banyak anak muda berkumpul di sana. Berbeda dengan area indoor tempat yang keduanya tuju. "Di sana aja," ajak Aga yang semenjak mereka berjalan menuju pintu masuk tak melepas tangan dari belakang punggungnya.
Egg Benedict menjadi pilihan Mara, meski saat ini ia tak yakin bisa menelan makanan. Melihat kedekatan Dipa dan Caca membuat hatinya semakin galau. Kemunculan Aga pun memperparah semuanya. Terlebih lagi kebencian yang bisa ia rasakan setiap kali matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Dipa. Mara bisa merasakan tatapan mata Aga, karena setiap kali pria itu melakukannya, tengkuknya meremang.
Namun, pria yang duduk di depannya saat ini terlihat berbeda. Tatapan matanya lembut, meski tak ada satu kata pun meluncur dari bibir Aga. Tidak ada kesan tak bersahabat seperti beberapa jam lalu. Senyum samar yang ada di bibir Aga membuat Mara curiga. "Kenapa, Mas?" tanyanya memutuskan memanggil Aga dengan sebutan Mas.
"Kenapa apanya?" Aga memajukan badan dan menopang dagu dengan kedua tangannya.
Mara gugup mendapat pandangan mata Aga seolah memeluknya erat. Sesuatu yang belum pernah ia dapatkan semenjak pertemuan pertama mereka di pesta pertunangan Dipa. "Kenapa kamu berbeda?"
Aga tidak mengubah posisi, bahkan Mara merasa tatapan matanya semakin intens. "Beda gimana maksud kamu?"
Mara menggigit bibirnya gugup sebelum memutuskan tetap mengatakan pertanyaan yang menggangu pikirannya. "Aku seperti ketemu dua versi seorang Aga," jelas Mara. Aga mengernyitkan kening dengan tanda tanya di kepalanya. Ekspresinya antara bingung dan merenung "Kamu kelihatan beda. Enggak seperti waktu ada Mas Dipa dan Caca tadi."
Mara menunggu Aga mengatakan sesuatu. Namun, hingga beberapa saat menunggu, Aga masih diam dengan mata tak lepas darinya. "Beda di mananya maksudmu?" tanya Aga. "Jadi lebih ganteng atau gimana?" Mara mendengus. "Lho, aku kan tanya. Salah?"
Mara meletakkan kembali sendok di tangannya. Menatap Aga dengan malas. "Ganteng dari Hongkong!" jawab Mara jengkel. "Kenapa kamu selalu panggil aku Asmara, Mas?" tanyanya ketika melihat Aga membuka bibir bersiap membantahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)
RomanceAsmara Putri Aldyansah tidak menginginkan cerita cintanya berakhir di kata tamat. Meskipun Dipa-pria yang selama tiga tahun bersamanya-akan melangsungkan pernikahan dengan orang lain. Satu-satunya yang Mara inginkan adalah kata bersambung untuk ceri...