25

7 1 0
                                    

Jovian berjalan dengan memegangi kedua sisi lengan tasnya, ia berjalan sambil tersenyum sepanjang lorong sekolah.

"Oh? Jia? Bagaimana jika aku membuat dia terkejut?" Pria ini sangatlah usil kepada semua orang. Jovian terkekeh karena rencananya, dirinya mengendap-endap agar Jia tidak mendengar suara sepatunya.

"DOR!" sungguh jantung Jia ingin lepas saat ini, dia terkulai lemas memegang dadanya akibat ulah jovian. Sedangkan sang empu hanya tertawa puas seperti meledek Jia.

"Kau ini mudah sekali terkejut" dirinya masih melanjutkan tawanya, Jia hanya memandang jovian yang sedang tertawa tepat didepannya. Pemandangan yang sangat langka bagi Jia, dia menahan rasa salah tingkahnya seperti yang dikatakan oleh Johan kemarin.

"Kau hanya perlu menyapanya, tidak perlu menatap matanya jika tidak tahan. Kau tatap saja yang lain seperti, hidung, mulut, pipi, Hindari saja kontak mata. Lalu, kau tahan rasa berdebar di hatimu. Tarik nafas dan buang perlahan, kau anggap saja seperti teman biasa, itu akan mudah Jia"

Jia mulai menarik nafasnya dan membuangnya perlahan ia mencoba mengikuti arahan Johan.

"Kenapa kau melakukan itu?" Jovian menghentikan tawanya dan mulai menetralkan nafasnya.

"Tidak ada, aku hanya ingin melakukannya" jawabnya santai, Jia mengangguk dan berjalan. Begitu juga jovian, ia berjalan disampingnya.

"Kita satu ruangan 'kan?".

"Benar".

"Kau sudah belajar untuk hari ini?".

Jia tersenyum menghadap depan, "tentu saja, bagaimana denganmu?" Mata jovian kearah atas kiri dan membuat bibirnya menyungging.

"Ah, aku tidak ada waktu untuk itu. Aku sibuk untuk persiapan pertandingan bola" jawabnya.

"Apa kau lebih memilih untuk menjadi pemain bola ternama?" Jia berhenti berjalan, dia menatap jovian dengan penasaran. Rasa salah tingkahnya sudah dikalahkan oleh dirinya sendiri.

Jovian tersenyum sumringah kearah Jia, "tentu saja, aku akan menjadi pemain terbaik dan terkenal di seluruh dunia" jovian menggunakan bahasa tubuhnya membuat suasana mereka berdua lebih dekat.

Keduanya kembali berjalan ke arah kelas, "aku harap kau menjadi pemain terkenal, agar usaha mu tidak sia-sia" Jia berkata sambil tersenyum. Jovian melirik kearahnya dan ikut tersenyum.

"Terimakasih".

Sudah mendapatkan meja masing-masing dan duduk rapi, bell ujian telah berbunyi. Namun, pria satu ini masih berkelahi dengan tas miliknya. Dibongkarnya tas itu sampai semua isinya keluar. Sedangkan murid lainnya sudah mulai fokus untuk mengerjakan ujian saat ini.

"Psstt, Jia.." Jovian berbisik memanggil Jia dari arah belakang, Jia sedikit menoleh karena didepan guru sedang menatap mereka.

"Apa kau mempunyai dua pensil lagi? Aku lupa membawanya" dengan cepat Jia mengambil pensil yang ada di dalam tasnya.

"Terimakasih Jia".

Suasana mulai hening kembali, beragam cara murid dikelas untuk mencari contekan agar nilainya tinggi. Ada yang menyembunyikan kepalan kertas di balik kertas ujian, ada yang menulis di paha dibalik rok. Ada juga yang menulisnya di balik kaos kaki, dan lebih seringnya berbisik dari sisi ke sisi.

"Jia".

"Jia".

"Jia" tak henti-henti jovian memanggilnya, akhirnya Jia pun menoleh sedikit ke belakang.

"Nomor 41, apa kau tahu jawabannya?" .

"Jia, apa kau tahu jawaban uraian soal nomor 3?".

"Jia, nomor 32?".

"Jia, nomor 27, bagaimana?" Belum sempat Jia jawab, jovian sudah mendapatkan lemparan di keningnya. Sungguh perih, yang dilempar oleh guru itu adalah penghapus kayu tebal dan keras.

Sedikit membuat kening jovian benjol dan memerah, Jia yang terkejut hanya bisa menunduk dan mengerjakan kembali ujiannya. Seluruh tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin karena kejadian tadi, tapi ia sangat khawatir dengan jovian sekarang. Sesekali Jia melirik kebelakang untuk melihat jovian.

Bell istirahat berbunyi, bertanda ujian telah selesai. Mereka masing-masing mengumpulkan ujian ke depan meja guru.

"Tidak adakah perubahan darimu jovian?" Guru itu bertanya kepadanya saat pengumpulan kertas ujian terakhir.

Dirinya hanya menunjukkan gigi rapinya dan menggaruk tengkuk lehernya, "maaf Bu, aku sedang usaha" tuturnya.

Guru itu hanya berdecak dan menyuruhnya kembali ketempat, "kening mu?" Tepat saat jovian beberes buku yang sempat ia bongkar dalam tas, kini Jia bertanya dengan nada yang sedikit cemas kepadanya.

Jovian langsung memegang keningnya, dirinya sedikit meringis karena menekan keningnya terlalu kuat. Jia langsung menepis tangan jovian dan ditiupnya tempat sakit tersebut, wajah keduanya terlalu dekat untuk saat ini.

Dikelas hanya ada mereka berdua, Jia sedikit berjinjit. Entah darimana asalnya salep itu sudah ada di tangan Jia, dioleskan Jia secara telaten ke kening Jovian.

Baru tersadar jika wajah Jia terlalu dekat dengan jovian, jovian sedari tadi hanya diam dan memerhatikan wajah Jia. Ditelurusi semuanya oleh jovian tanpa melewatkan sedikitpun, tidak sengaja Jia sedikit mendorong bahu jovian.

"A-ah, ma-maaf. Aku..." Jia menundukkan pandangannya dirinya mulai gugup kembali, jovian terbelalak. Bukan karena Jia mendorongnya, melainkan karena jantungnya kini berdetak lebih cepat. Lebih cepat daripada dirinya melihat jessa.

Jovian memegangi dadanya, perlahan ia melihat ke arah Jia. Lalu, jovian memutar badannya menghadap dinding, wajahnya kini lebih merah dari Jia.

"Apa ini?! Kenapa bunyi jantung ku lebih cepat? Kenapa tubuh ku tidak mau melihat kearahnya?! ada apa ini sebenarnya dengan diriku?!" Hati jovian berbicara, sedikit bertanya dengan keadaan dirinya sekarang.

ANINTYA  (2007) [ON GOING!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang