«✯—✯—✯»
Seorang pemuda mendesah lelah dan menyisir rambutnya dengan tangan. Dia melihat kakak iparnya yang pergi setelah puas bertengkar karena suatu masalah. Pemuda itu baru berusia tujuh belas tahun dimasanya. Sementara aku berumur lima belas tahun.
Dia melirik jam dinding, menyadari bahwa dia dan aku benar-benar harus pergi sekolah. "Adik, cepat ambil barang-barangmu. Kita harus pergi!" Padahal aku adalah anak dari kakak perempuannya, tapi karena usia kami yang terpaut dekat dia menjadi terbiasa memanggilku adik bahkan sampai sekarang.
Terdengar suara keras di lantai atas saat aku bergegas ke kamar, suara langkah kakiku yang berlarian bergema di seluruh rumah. Kakakku-maksudku pamanku, Evan tidak bisa menahan senyum melihat energi keponakannya yang tak terbatas, tetapi pikirannya masih tertuju pada sang kakak ipar serta ekspresi kemarahan yang dilihatnya di wajahnya. Dia menggelengkan kepala, mencoba untuk fokus pada masa kini dan tugas yang ada. Dia harus mengantarku ke sekolah sebelum dia bisa mengatasi masalah dengan ayah dan ibuku nanti.
Beberapa menit kemudian, aku melompat turun dari tangga, ranselku di punggung namun sepatuku terlepas akibat terlalu bersemangat. Evan terkekeh dan menyodok keningku menggunakan jari telunjuknya. "Beban, gitu aja ceroboh." Dia berlutut tanpa gengsi, lalu dengan cepat mengikat tali sepatuku.
Aku berdiri tegap sambil melipat tangan di perut. Tersenyum puas sambil mengejeknya. "Babuku ini sangat berbakti, ya."
"Yeh, dibaikin malah ngelunjak." Evan menyeringai lebar dengan lesung pipit dan gigi yang tanggal. Meskipun ia khawatir tentang ayah, Evan tidak dapat menahan senyumnya. "Baiklah, ayo berangkat." katanya, berdiri dan meraih tanganku. Aku dan Evan mulai beranjak menuju pintu, sadar bahwa kami sudah hampir terlambat ke sekolah.
Saat jam pembelajaran berlanjut, aku melihat cuaca yang memburuk di luar jendela. Angin kencang dan hujan deras sangat kontras dengan pagi yang cerah dan terik sebelumnya. Pikiranku sejenak melayang dari materi saat menyadari bahwa Evan juga masih di sekolah, kemungkinan besar kami akan menghadapi badai tanpa kehadiran satu sama lain karena perbedaan kelas yang kami lewati. Kekhawatiranku bertambah dan membuatku kesulitan berkonsentrasi pada urusan yang sedang dihadapi.
Aku melirik ponselku, mempertimbangkan apakah harus mencoba menghubungi Evan atau tidak, tetapi aku tidak ingin mengganggu kelasnya. Namun, memikirkan firasat buruk ini membuatku cemas. Aku benar-benar tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang salah, tapi apa?
Aku mencoba untuk kembali fokus pada materi pembelajaran, tetapi perhatianku terus teralihkan kembali ke hujan lebat di luar dan kekhawatiran terhadap firasat buruk yang seharian ini membuat batinku sesak.
Waktu berlalu begitu lambat, pembelajaran ini terasa sangat lama. Aku bisa merasakan kesabaranku menipis karena kekhawatiranku yang semakin besar. Aku hanya ingin bergegas keluar dan menengok Evan. Untungnya kelas kami hanya terpisah bangunannya saja dan jaraknya tidak begitu jauh. tetapi aku tahu aku harus tinggal sampai jam pembelajaran selesai. Aku gelisah di kursiku, tatapanku terus tertuju pada badai di luar dan pikiranku berpacu dengan kekhawatiran.
Jari-jariku mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar, kakiku bergoyang-goyang di bawah meja. Setiap kali aku mengira mereka akan segera mengakhiri pembelajaran, pokok bahasan lain akan muncul atau topik baru akan dibahas, memperpanjang penderitaan.
Pikiranku dipenuhi dengan pikiran tentang masalah, bertanya-tanya mengapa diriku begitu gelisah melebihi biasanya? Apa aku khawatir ayah melakukan kekerasan pada ibu lagi? Sepertinya bukan karena itu.
Aku memeriksa jam tanganku yang sepertinya sudah keseratus kalinya, hatiku mencelos saat menyadari lamanya waktu. Seharusnya pembelajaran sudah selesai, tapi karena hujan lebat, para guru menyarankan agar muridnya tetap berada di kelas sampai hujannya reda. Tapi hujan di luar tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Aku hanya ingin pulang, aku sangat khawatir akan sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatiku.