Winner-2

8 0 0
                                    

"Bisakah langit tetap bersama bulan?"

—Akash Greyson—

«✯-✯-✯»

Tiga tahun berlalu....

Di ruangan yang remang dan sedikit berantakan, juga diiringi musik pop. Aku bergegas mengenakan jaket kulit dan mengambil kunci di atas meja samping tempat tidur sembari berjoget asik. Kamar yang terlalu terang biasanya membuat mataku sakit, itu alasan mengapa aku mengecat setiap dinding kamar menggunakan warna abu kehitaman. Soal warna favorit? Aku suka warna gelap, terlihat lebih nyaman dipandang.

Aku keluar dari kamar dan menutup pintu dengan rapat, pokoknya harus dikunci agar tidak ada tikus yang masuk, maksudku pamanku. Semenjak ibu meninggal, paman bersikeras untuk tetap tinggal dan menjagaku di rumah ini. Setelah memastikan jika pintu aman terkendali, aku berjalan menuju tangga dengan senyuman puas. Ets, aku lupa sesuatu. Aku kembali masuk ke kamar dan membuka laci untuk merogoh sesuatu. Jimat keberuntunganku. Sebenarnya itu hanya kalung biasa, tapi cuma itu yang aku anggap berharga dalam rumah ini. pemberian dari mendiang ibunda. Aku beranjak sambil mengenakan kalung tersebut dan kembali mengunci pintu.

"Babu, where are you?~" seruku menuruni tangga.

Ketika tiba di lantai bawah. Langkahku lekas berhenti, mataku terbelalak dan rahangku ternganga. Apa yang sedang aku lihat sekarang cukup untuk membuat jantungku bekerja ekstra.

"Hei, Adik." Seorang pemuda datang dari belakang dan menyentuh kepalaku.

Aku menoleh untuk menanggapinya, tapi perasaanku masih gelisah karena kedatangan dua orang polisi yang sekarang sedang berbincang bersama ayah.

Pamanku, Cyrus Evander. Dia sekarang bertambah tinggi sehingga kepalaku sebatas pundaknya saja. Oh, ayolah... Apa sekarang aku sependek itu? Dia terus menatapku penasaran, matanya seolah bertanya apa aku melakukan onar lagi.

Semenjak kejadian tiga tahun lalu, kami sudah mulai beradaptasi dengan dunia tanpa ibu. Meski sulit, kami yakin kami bisa. Evan tidak jadi dihukum meski ia bersikeras akan bertanggungjawab karena rasa bersalahnya yang terus menghantui. Aku juga sudah memohon pada ayah dan berhasil mencabut laporannya. Mengatakan jika itu sebatas kecelakaan semata, ditambah karena cuaca yang buruk juga. Lebih dari itu, ada sebuah ancaman Evan pada ayah yang tidak aku ketahui. Aku yakin ucapan Evan-lah yang merubah keputusan ayah hingga terlepas dari kasus kematian itu.

Aku memutar mata dan mendengus. "Kau tahu situasinya."

Awalnya Evan terkejut, tapi kemudian ia kelepasan karena tak bisa menahan tawa melihat kenakalan keponakannya yang terciduk. Tangannya masih menempel di kepalaku saat ia tiba-tiba menarikku menjauh menuju pintu belakang. Hei, aku bukan bola. Bisa-bisanya dia menarik kepalaku dan bukan tanganku!

Aku segera berputar, menunduk sambil menepis tangan kekar tersebut, masih berjalan di sampingnya dengan mulut cemberut dan menggerutu.

"Kali ini balapan di mana sampai ketahuan polisi?" tanya Evan sedikit sarkasme.

Aku malas menjawabnya sebab sekarang dia selalu bersikap menyebalkan, bukan seperti keluarga melainkan musuh. Meski aku tahu faktor apa yang membuatnya bertingkah aneh.

Dia hanya ingin menutupi rasa takut pada trauma masa lalu sekaligus menghibur diri sendiri. Aku mengerti akan hal itu. "Bukan urusan lo."

Evan terkikik geli lalu merangkulku dengan gemas. Tangan lainnya mencubit pipiku seperti menaruh dendam. Bahkan sudut bibirku sampai tertarik dan pipiku memerah.

Street QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang