Bab 13

215 63 14
                                    


Bab 13

Meet the family



Mara tak segera membuka pintu mobil ketika Aga menghentikan mobil tepat di depan rumahnya. Meski saat ini ia bisa merasakan tatapan tajam pria di sampingnya. Ia masih menolak untuk menoleh ke kanan, karena pandangannya tertuju pada pagar rumahnya.

"Kita di sini sampai ...."

"Sampai aku yakin ngenalin kamu sama Ayah adalah tindakan yang tepat." Kekehan Aga terdengar jelas, tapi itu tak membuatnya mengalihkan padangan. "Ojo ngguyu!" hardiknya. "Ngenalin kamu ke Ayah itu seperti ...."

"Ngenalin pacar ke keluarga. Iya, kan?" Mara menoleh dan mendapati Aga menyandar, tangannya kirinya ada di headrest belakang kepalanya. "Anggap aja ini latihan. Jadi enggak canggung lagi kalau next time aku ke sini untuk ngelamar kamu."

"Latihan gundulmu, Mas!" katanya jengkel sebelum membuka dan membanting pintu seiring suara tawa Aga. Jengkel, itu yang Mara rasakan ketika tawa itu tak kunjung mereda. Meski saat ia membuka pintu pagar dan berjalan beriringan bersama menuju pintu masuk, Mara harus menahan senyum di bibirnya. "Jangan ngomong aneh-aneh sama Ayah!" perintahnya.

"Aneh apaan, sih, Yang!"

"Itu!" katanya tegas dengan jari telunjuk terarah tepat ke wajah Aga. "Itu, tuh! Enggak ada panggilan sayang apapun, Mas!"

Sebelum emosinya semakin memuncak, Mara meninggalkan Aga di teras rumahnya. Setelah meneriakkan salam yang kedua orang tuanya jawab dengan tak kalah seru, Mara memasuki ruang tengah diikuti Aga. Langkahnya ragu, tapi ketika melihat wajah kedua orang tuanya. "Dek, sama siapa?" tanya Mamanya.

Ia tahu siapa yang Mamanya maksud, tapi bibirnya terkunci untuk menjawab. "Saya Agastya, Tante, Om." Suara di belakang membuatnya tersadar.

"Mas Aga ini ...." Mara bingung mengatakan siapa Aga sebenarnya. "Sahabat Caca, calon istrinya Mas Dipa, Ma." Aga yang selalu terlihat enggan setiap kali ia menyebut nama Dipa, kini tersenyum ramah. Bagas yang berada di dapur melambaikan tangan, memintanya dan Aga untuk mendekat. "Ayah, kenalin, ini Mas Aga."

Pria yang selama ini selalu protektif terhadapnya, terlihat tertarik pada Aga. Bagas meninggalkan apapun yang beberapa saat lalu dikerjakan dan memandang Aga dengan terlipat di depan dada. "Bagas," kata Ayahnya mengulurkan tangan sebelum kembali melipatnya.

"Aga, Om. Senang berkenalan dengan Om dan Tante." Aga memandang kedua orang tua Mara dengan senyum. "Maaf, baru bisa main ke sini. Malam-malam, pula."

Seperti yang sudah ia duga, kedua orang tuanya bukan menjaga jarak atau dingin. Bahkan keduanya menerima Aga dengan tangan terbuka, tak terlihat menjaga jarak. Bahkan saat ini ia berdiri keheranan ketika Bagas meminta Aga mengikuti langkahnya ke teras belakang. "Mau ngapain, sih?!" tanya Mara ketika Aga dengan seringai lebar di bibir mengikuti kedua orang tuanya menuju teras belakang.

"Ngobrol di belakang, lah!" jawab Ayahnya.

Mara masih tak percaya, dalam waktu sekejap Aga berhasil menjadi bagian dari keluarganya. Bukan hanya tamu yang duduk di depan, karena pria itu kini berjalan dengan angkuh menuju teras belakang. Tampat di mana keluarganya selalu berkumpul. "Ma, ini udah malam, ngapain ngajak Mas Aga ngobrol, sih?!" protesnya.

"Bukan Mama! Ayah, tuh." Mara menghela napas panjang membungkukkan punggungnya. "Halah, biasa aja, Dek. Teman, kan?"

Sindiran Mitha tak berhasil membuat suasana hatinya membaik. Bahkan usapan di pundaknya pun tak membuat Mara tersenyum. "Dia?" Mara mengangkat kedua alis matanya. "Dia yang bikin kamu enggak bisa tidur malam itu, kan?" tanya Mamanya. Tubuh Mara seketika menegang. "Enggak ada gunanya bohong sama Mama, Dek."

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang