Bab 14.2

211 66 13
                                    


Bab 14To be continue 


"Hah?!" Mara menoleh dengan mata membelalak tidak percaya. Tiba-tiba perasaannya campur aduk membayangkan Dipa dan Aga. Beberapa kali pertemuannya dan Aga, Mara mulai mengenal pria tersebut. Ia akan melindungi Caca dari segala ancaman, termasuk dari Dipa. "Mau ngapain Mas Aga ke kantormu, Mas?!" Jantungnya berdetak kencang menanti jawaban Dipa.

Dipa masin memandang ke depan, meski saat ini, tatapan Mara hanya tertuju padanya. "Dia bilang, aku harus berhenti mikirin kamu. Karena dia yang akan melakukan itu."

Napas Mara tercekat mendengarnya. Ia tahu Aga melakukan semua hal untuk Caca. Bahkan saat ini ia tak terkejut mengetahui ancaman Aga. Namun, ia tak menyangka pria yang beberapa jam lalu mengirim pesan padanya akan benar-benar melakukan ancamannya.

"Aku enggak mau kamu masih berhubungan dekat sama Dipa. Aku mau kamu berhenti mikirin dia. Aku mau kamu menjauh dari Dipa. Apapun yang Caca inginkan untuk pernikahan, jika itu melibatkan Dipa dan kamu dalam ruangan yang sama, tolak. Kecuali ada aku di sana!"

Mara menghentikan langkah ketika mendengar perintah Aga. Jarak beberapa langkah dari pagar rumah tiba-tiba terasa jauh. Bahkan Aga terlihat enggan untuk meneruskan langkah, berbeda dengan Mara. Ia berhenti bukan karena tak ingin berpisah, tapi ancaman dan perintah yang Aga berikan terdengar menggelikan.

"Kenapa? Enggak bisa jauh-jauh dari Dipa?" tanya Aga.

"Kenapa? Mas tanya kenapa?" Mara tak percaya dengan sikap Aga yang seenak hati memintanya menjauh dari Dipa. "Kamu sadar kalau permintaanmu itu enggak masuk akal, kan, Mas!" Aga melipat tangan di depan dada, seolah menanti sesuatu. Sedangkan Mara meluruskan punggung, menaikkan dagu tak ingin mundur. "Apa?!"

Mara memekik ketika tiba-tiba Aga memajukan wajahnya. Hingga hidung keduanya hanya berjarak beberapa centi. Di bawah temaram lampu jalan, Mara bisa melihat kesungguhan yang tercetak jelas di wajah Aga. Bahkan mata hitam yang selama ini membuatnya terjebak terlihat semakin memerangkap dan menaklukkannya.

Tanpa Mara sadari, ia memundurkan langkah. Namun, Aga kembali membuatnya terdiam. "Karena yang boleh dekat sama kamu, hanya aku! Karena kamu hanya boleh mikirin aku, bukan Dipa!"

"Non!" suara Dipa membawanya kembali dari kejadian beberapa malam lalu. Wajah kusut Dipa membuatnya tersadar. "Kamu ngelamunin apa, sih?"

"Sorry, aku masih enggak ngerti apa maunya Mas Aga." Mara tahu apa yang diinginkan Aga, tapi ia tak akan mengatakan apapun pada Dipa. "Mas tadi tanya apa?"

"Kamu jadian sama Aga?!" Jantungnya berhenti mendengar pertanyaan Dipa. "Jadi bener kalian berdua jadian?" Mara menggeleng tanpa menjawab apapun. "Non—"

"Aku enggak jadian sama Mas Aga," selanya.

"Lalu kenapa? Kenapa sama Aga berbeda? Kenapa kamu mau pergi berdua sama Aga? Kenapa dia datang ke kantor dan mengatakan itu semua, Non?!"

Mara berdiri tak sanggup untuk tetap duduk. Ia butuh untuk bergerak. Ia memerlukan jarak antara mereka berdua. Mara tak ingin Dipa melihat ketertarikan yang mulai muncul di matanya setiap kali wajah Aga melintas di pikirannya. Mara tak ingin Dipa melihatnya mengigit bibir, menahan senyum dan semu merah di pipi setiap kali ia memikirkan Aga. Semua itu karena pria yang saat ini menatapnya dengan penuh curiga terihat terluka.

"Aku enggak tahu kenapa Mas Aga mengatakan itu semua. Aku enggak ngerti dia datang ke kantormu. Aku enggak ngerti semua ini ... aku hanya enggak pengen cerita antara kita berhenti sampai di sini. Tapi aku tahu kalau ini semua harus berhenti. Aku enggak ngerti apa yang terjadi antara aku dan Mas Aga. Tapi setiap kali aku mulai mikirin kamu, dia selalu muncul."

Mara mengungkapkan semua yang ada di pikirannya. Napasnya memburu dan kepala terasa melayang. Seolah oksigen berhenti mengalir ke kepalanya. Kini ia meraba dada kiri dan merasakan dentuman tanpa henti di sana. "Aku enggak ngerti, Mas," katanya pelan sebelum Dipa membawanya masuk dalam pelukan.

"Non, aku nyiksa kamu, kah?" Mara diam, ia pun mengeratkan lingkaran lengannya. Saat ini, yang diinginkannya hanya diam di sini. Dalam pelukan pria yang akan segera menjadi milik Caca, dan ia harus berhenti mencari tahu tentang cerita mereka. Ia hanya ingin merasakan untuk terakhir kalinya berada dalam pelukan Dipa. "Aku sayang kamu, dan itu enggak akan berhenti. Suami Caca atau bukan, kamu tetap Asmara di hatiku."

Entah apa yang terjadi, tangis Mara seolah tak bisa berhenti. Mendengar kata sayang dan kecupan di puncak kepala membuat rasa penyesalan yang terkadang masih memenuhi hati, kembali membesar. Usapan lembut di punggungnya menjadi pengingat, pria yang saat ini memeluknya bukanlah miliknya. "Aku sayang kamu, Mas," ucapnya di sela-sela tangis.

"Aku ngerti, Non. Aku ngerti." Keduanya saling menuntaskan semua yang tersimpan. Mara mengeratkan pelukan, mendengarkan detak jantung beraturan Dipa. "Aku sayang kamu juga." Keduanya terdiam dalam pelukan, hingga terdengar deheman membuat keduanya saling menjauh.

Sepasang mata terlihat dingin menatap mereka berdua. Pria yang selalu terlihat santai dengan rambut awut-awutan kini tampak rapi. Kemeja slim fit lengan panjang berwarna merah marun dengan lengan ditarik hingga siku, membuat Mara bisa melihat lengan kekar Aga. "Aku enggak tahu kalau pertemuan kalian berdua harus di warnai dengan pelukan dan ciuman!"

Untuk pertama kalinya, Mara mengetahui rasanya tepergok melakukan kesalahan. Ia merasa seolah mengkhianati seseorang. Seperti seseorang yang berselingkuh di belakang kekasihnya. Melihat kemarah dan kecewa yang terlihat jelas di wajah Aga, membuat kakinya melemas. "Mas Aga!" kata Mara. "Mas kok ke sini?" tanyanya pelan dengan suara serak menahan tangis. Ia tak tahu apa yang terjadi, matanya memanas seolah setiap saat air matanya kembali jatuh membasahi pipi.

Sayangnya, ketika Aga mendekat dan mengulurkan tas plastik ke arahnya, air mata Mara mulai berjatuhan. Aroma kue lumpur yang mengisi indra penciumannya membuat matanya membelalak. Ia tak tahu bagaimana Aga bisa mengetahui keinginannya sejak pagi.

"Aku lihat story kamu tadi sore," jawab Aga meski ia tak mengatakan apapun. "Aku pulang." Tanpa menoleh ke arah Dipa yang berdiri di sampingnya. Aga meninggalkannya yang masih tak bisa mengatakan apa-apa.

"Mas!" panggilnya yang hanya Aga jawab dengan lambaian tangan tanpa menoleh ke belakang. Sedih yang kini mengisi hati membuat tangisnya semakin deras. Mara tak tahu apa yang terjadi padanya, saat ini, ia merasa bersalah.

"Katanya enggak jadian?!" Mara mengalihkan pandangan pada Dipa yang menyandar di kolom teras dengan tangan terlipat di depan dada. Senyum simpul menghiasi wajahnya, tapi jejak sedih tampak jelas di sana. "So, mulai kapan jadian sama Aga?" Mara menggeleng dan menoleh ke arah suara mesin mobil yang terdengar menjauh darinya. Membawa serta semua sedih dan marah yang tergambar jelas di wajah Aga.


Ya ampun ... Mas Aga cemburu. Saya sukaaaaa
Whahahha

Love, ya!
Shofie

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang