Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!
Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!✧
Setelah malam penuh ketegangan di sekolah, Alya, Dika, dan Maya kini sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke kehidupan normal. Mereka telah menyaksikan terlalu banyak, mendengar rahasia-rahasia gelap yang tidak bisa lagi mereka abaikan. Masing-masing dari mereka membawa beban baru, seolah-olah bayangan sekolah itu kini mengikuti mereka di setiap langkah.
"Jadi apa sekarang?" tanya Maya dengan nada berbisik ketika mereka berkumpul di rumah Alya keesokan paginya. Wajahnya terlihat lelah, lingkaran hitam di bawah matanya menandakan bahwa dia tidak tidur semalaman. "Mereka pasti tahu ada yang menyusup ke pertemuan itu. Kita dalam bahaya."
Alya menatap ponselnya dengan ekspresi penuh kecemasan. "Aku juga berpikir begitu. Tapi kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita sudah terlalu jauh."
Dika yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba berbicara. "Aku sudah menghapus semua jejak kita tadi malam. Tidak ada yang bisa melacaknya kembali ke kita."
Alya dan Maya menoleh dengan wajah penuh tanya. "Bagaimana kau melakukannya?" tanya Maya. "Bukannya kita hanya menyelinap tanpa menyentuh apa-apa?"
Dika tersenyum kecil, meski raut wajahnya tetap serius. "Aku tahu cara menyusup tanpa terdeteksi. Tapi lebih dari itu, aku juga meretas sistem keamanan sekolah setelah kita keluar. Semua rekaman CCTV dari aula sudah aku hapus."
Maya menghela napas lega, sementara Alya hanya bisa menatapnya dengan rasa kagum dan sedikit terkejut. "Kau benar-benar mempersiapkan semuanya, ya?"
"Aku tidak ingin mengambil risiko. Lagi pula, kita tidak tahu siapa lagi yang bekerja sama dengan Pak Ridwan. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari lebih banyak bukti, sesuatu yang bisa kita bawa ke pihak luar."
Maya mengangguk pelan, meski kecemasan masih jelas terlihat di matanya. "Tapi kita butuh bukti lebih kuat dari sekadar rekaman percakapan itu. Sesuatu yang tidak bisa mereka bantah."
Alya memutar otaknya, mencoba mencari solusi. "Ada satu cara," katanya pelan. "Kita harus menemukan subjek eksperimen mereka. Jika kita bisa membuktikan bahwa ada siswa yang dijadikan percobaan dan mengungkapkan kondisi mereka yang sebenarnya, itu akan menjadi bukti kuat."
Dika mengerutkan dahi. "Tapi bagaimana caranya? Mereka pasti sangat merahasiakan siapa saja yang menjadi subjek."
"Kalau begitu, kita harus mencari tahu siapa siswa yang menghilang atau menunjukkan gejala aneh. Ada beberapa siswa yang sudah tidak terlihat di kelas. Kita mulai dari sana," jawab Alya, merasa sedikit lebih yakin dengan rencananya.
Selama beberapa hari berikutnya, mereka bertiga dengan hati-hati mulai memantau pergerakan siswa di sekolah. Mereka mencatat siapa saja yang absen tanpa alasan jelas, siapa yang tampak lebih lelah atau berbeda dari biasanya. Semua perubahan kecil yang mereka temukan mulai membentuk pola aneh.
Namun, di saat mereka merasa mulai mendapatkan petunjuk, Alya mulai memperhatikan sesuatu yang semakin mengganggu dirinya sendiri. Setiap kali dia mendekati siswa yang tampaknya menunjukkan gejala penyakit misterius itu, rasa sakit di kepalanya semakin parah. Halusinasi samar yang awalnya hanya muncul sesekali, kini mulai mengganggunya lebih sering.
Suatu hari di perpustakaan, saat mereka bertiga sedang mendiskusikan temuan terbaru mereka, Alya tiba-tiba merasa pusing. Dia meremas meja, mencoba menahan rasa mual yang tiba-tiba datang.
Maya menoleh, wajahnya cemas. "Alya, kau baik-baik saja?"
Alya menggeleng pelan, matanya berusaha tetap fokus. "Aku... aku merasa aneh. Sejak kita mulai menyelidiki ini, kepalaku terasa sakit setiap kali kita mendekati mereka yang terinfeksi."
Dika menatapnya dengan pandangan penuh perhatian. "Kau yakin kau tidak tertular sesuatu?"
"Aku tidak tahu," bisik Alya, merasa takut dengan kemungkinan itu. "Tapi ini bukan hanya rasa sakit biasa. Seperti... ada sesuatu di dalam diriku yang berusaha keluar."
Maya dan Dika saling bertukar pandang, ekspresi mereka penuh kekhawatiran. "Mungkin kau harus berhenti sementara waktu," saran Maya. "Biarkan aku dan Dika yang melanjutkan."
Namun, Alya menggeleng keras. "Tidak. Aku harus terus ikut. Kita tidak bisa membiarkan mereka menang."
Malam harinya, Alya tidak bisa tidur. Pikirannya terus-menerus memutar kejadian-kejadian yang telah mereka alami. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, dan di tengah keheningan malam, halusinasi yang biasanya samar kini muncul dengan sangat jelas.
Dia melihat bayangan-bayangan di dinding kamarnya, seolah-olah ada seseorang yang berdiri di sudut-sudut gelap. Suara bisikan yang tidak jelas terdengar di telinganya, membuatnya merasa dikelilingi oleh sesuatu yang tak terlihat.
"Apa yang sedang terjadi padaku?" gumamnya, meremas kepalanya yang berdenyut.
Ketika dia menoleh ke jendela, dia hampir terlonjak kaget. Di luar, di bawah cahaya remang bulan, seorang sosok berdiri diam di halaman rumahnya, menatap langsung ke arah jendelanya.
Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri dengan wajah yang tidak terlihat jelas dalam kegelapan. Namun, Alya bisa merasakan kehadiran itu dengan sangat kuat, seolah-olah sosok itu memancarkan aura yang menakutkan.
Dia ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokannya. Dengan gemetar, dia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, berharap sosok itu akan pergi. Namun, bayangan itu tetap di sana, tidak bergerak sedikit pun, seolah menunggu sesuatu.
Malam itu, Alya tidak tidur. Setiap kali dia menutup mata, sosok itu tetap terpatri di pikirannya.
Keesokan paginya, Alya datang ke sekolah dengan mata merah karena kurang tidur. Dika dan Maya langsung tahu ada sesuatu yang salah.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dika saat mereka duduk di bangku taman sebelum kelas dimulai.
Alya mengangguk lemah. "Aku melihat sesuatu tadi malam. Seseorang... berdiri di depan rumahku, menatap langsung ke arahku."
Maya merinding. "Apa maksudmu? Kau yakin itu bukan imajinasimu?"
Alya menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya begitu nyata. Dan hal itu... membuatku takut."
Dika menatap Alya dengan serius. "Kita harus lebih berhati-hati. Mungkin mereka sudah tahu kita tahu terlalu banyak."
Alya tahu Dika mungkin benar. Mungkin waktu mereka semakin sedikit.
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SILENT PLAGUE
HorrorDi sebuah kota kecil yang tenang, penyakit misterius mulai menyebar tanpa peringatan. Orang-orang yang terinfeksi tidak segera berubah menjadi mayat hidup, tetapi mereka perlahan kehilangan kesadaran, menjadi terobsesi dengan suara tertentu yang han...