"Babe, kok ngelamun? Nggak suka sama makanannya?" Suara Leon menarikku kembali dari kenangan masa lalu.
"Ah apa?" Tanyaku.
"Kamu kok ngalamun? Kenapa? Nggak suka makanannya? Atau tempatnya?" Tanyanya sekali lagi dengan penuh perhatian, satu hal yang mudah namun juga sulit dalam wakti yang bersamaan.
"Nggak kenapa-kenapa kok cuman keinget pelajarannya pak Marwan aja, aku belum ngerti sepenuhnya." Jawabku berbohong, aku tidak ingin dia tahu apa yang aku pikirkan sesungguhnya dan menjadi khawatir tentang ku.
"Oh kirain." Dia tersenyum lembut padaku. "Habis ini mau kemana lagi? Dufan seru dech kayaknya."
"Udah jam segini. Waktunya pulang." Tolak ku.
Leon mengangguk mengerti karena seperti itulah kami. Jam sembilan malam adalah waktunya untuk berpisah. Keluargaku sebenarnya tidak memberlakukan jam malam. Tapi, aku sendiri yang memasang jam malam tersebut. Karena apa? Karena hanya ingin saja dan Leon menghargai itu. Leon selalu menghargai ku, itu yang aku suka dari Leon. Perhatian dan menghargai, sikap yang utama yang membuat perempuan manapun akan memilih menetap dan setia tentu saja.
"Mau aku anter sampai rumah?" Tawarnya, aku menggeleng. "Turun di tempat biasanya?" Tanyanya sekali lagi dan aku mengangguk.
Seperti yang aku katakan diawal, Leon hanya tahu aku sebagai aku, gadis SMA biasa yang berprestasi. Leon tidak tahu dimana rumahku, siapa orang tuaku. Begitupun teman satu sekolahku. Dan bersyukurnya aku Leon mengerti ketertutupan ku. Aku dan Leon sekolah di SMA Bunga Bangsa, sekolah favorit, bukan favoritnya karena sokongan wali murid jenset, sekolah kami termasuk sekolah sederhana awalnya namun selalu berhasil mencetak murid-murid berprestasi. Yang sogokan tidak berlaku di sini. Memang ada sponsor tapi sponsor dari perusahaan dan di pastikan tidak ada KKN di sini.
* * *
"Sayang... Bangun yuk!" Mataku masih terasa berat untuk terbuka karena ini adalah hari minggu, hangat matahari terasa dari jendela kamarku yang telah terbuka. Mungkin mama yang membuka jendelanya.
"Hm..." Aku merenggangkan tubuhku, "Mama... Inikan hari Minggu." Protes ku.
"Selamat ulang tahun anak mama." Ucap Mama sambil memelukku dengan riang. Yah mungkin karena aku anak tunggal. Jadi perhatian mama sepenuhnya hanya di tumpahkan padaku, terlebih papa sering kerja luar kota atau ke Singapore mengingat anak perusahan papa yang di sana semakin maju.
"Hah emang ini tanggal berapa Ma?" Tanyaku linglung.
"Tiga belas." Mama yang duduk di pinggir ranjang dekat pahaku, tersenyum begitu memukau, wajah anggun nan ayunya tidak menampakkan bahwa beliau sudah kepala empat. Senyum mama selalu bisa membuat hatiku tenang. Entah bagaimana bisa mama mendapatkan senyum seperti itu. Mungkin dari eyang, eyang putri juga memiliki senyum seperti mama. Apakah aku juga memiliki senyum seperti itu? Kurasa tidak.
"Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas gadis kesayangannya mama." Mama membelai rambutku yang masih berantakan.
"Terimakasih mama."
"Sayang..." Suara mama begitu lembut. "Mama ingin memberikan sesuatu untuk mu sebagai hadiah." Mama mengeluarkan sebuah kalung berliontin sebuah batu berwarna merah yang menggoda.
"Kalung?" Tanyaku heran. Karena baru kali ini aku melihat kalung itu.
"Ini kalung turun temurun dari keluarga kita sayang." Jelas Mama. "Dulu mama mendapat kan kalung ini ketika mama lulus SMA. Tapi, mama rasa ini adalah saat yang tepat untuk memberikan kalung ini pada kamu sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIONTIN
Randomkisah seorabg gadis yang sedang berproses dan mencari jati diri dan apa arti dari cinta yang sebenarnya di tengah hiruk pikuknya dunia dan betapa ganasnya dunia