Selelahnya

275 35 0
                                    

KALAU dikira-kira seberapa besar nyali Haura untuk terus jalan sama Nata, yaa.. 88% aja. Sisanya? Harus diurus sedemikian rupa biar gak buang tenaga.

Bentar-bentar..

Buang tenaga disini maksudnya bukan untuk hubungan mereka yaa, tapi 'masak' untuk ke depannya.

Semakin banyak usianya, semakin runtut jadwal bertanya orang tua mereka perihal pasangan, sekedar bercanda atau terkadang dibawa serius sesekali. Yang kadang juga, Nata si spontan itu tidak bisa menahan diri dari menjawab celetukan acak mamanya.

Seperti... sekarang.

Haura bisa lihat warna merah dan bunyi alarm di kepalanya.

Malam ini, Nata membawanya makan malam bersama orang tuanya. Di rumah yang dijadikan tempatnya tumbuh sampai sebesar ini, hingga punya keputusan bulat kokoh sedemikian rupa.

Tangan kiri Nata menggenggam lengan Haura yang berkeringat dingin, seperti halnya dirinya.

"Bawa temen cewek mulu, pacarmu mana, Nat?"

"'Kan Mama yang bilang aku fokus dulu sama pendidikan, kenapa tiba-tiba nanyain pacar? Toh masih kelas sebelas."

Nata menjawab sedikit terburu, takut kalau semakin dibawa perasaan, semakin keluar jujurnya.

Papanya sendiri daritadi memilih diam, enggan bersuara.

"Haura sendiri? Udah lama loh kamu gak kesini. Jalannya juga sama Nata mulu, gak bosen kamu?"

"Kalau konteksnya ngusir Haura sih mending diem, Ma."

Demi Tuhan..

Haura gapernah nyiapin dirinya buat Nata ngomong selugas itu di depan mamanya. Jawaban sarkas yang Haura gapernah duga bakalan datang malam ini. Sekedar menjawab tapi Haura paham rasanya dijudesin anak sendiri, walau belum punya anak sih...

Selesai dengan acara makan malam, keduanya memilih memisahkan diri ke halaman belakang. Lumayan sepi suasananya, tapi lebih baik daripada harus terus berada di situasi canggung.

Halaman rumah Nata di belakang, itu teduh. Selalu jadi safest place mereka kalau mau pacaran di rumah, selain di kamarnya Nata.

Kalau malam, mamanya enggan ke belakang karena beliau gak tahan dingin. Sementara papanya Nata ini lebih tau diri, kalau gak seharusnya ganggu acara ngobrol anak-anak muda yang gak seusianya.

"Mau sampai kapan terus-terusan musuhin Tante gitu, Nat? Gabaik.."

Nata membawa Haura ke pelukannya, dengan posisinya yang setengah rebahan membuat Haura sukarela menjadikan Nata sebagai bantalan.

"Aku gak musuhin. Aku cuma jawab aja, maunya dia kayak apa juga aku gapaham. Mama tuh udah tua, tapi labil banget. Aku anak satu-satunya tapi gapernah diperhatiin kecuali sama Papa, kalau gak Eyang."

"Secapeknya kamu aja, ya? Jangan terus-terusan begitu, Nata.. Gapapa 'kok kamu belain aku, tapi ya ada takarannya. Aku masih bisa cari pembelaan untuk diriku sendiri."

Nata mendengarkan dengan baik, memejamkan mata seraya berpikir dengan saksama. Isi kepalanya kadang memberontak mendengar ucapan Haura, tapi banyak benarnya.

Lagian, beberapa bulan terakhir memang mereka lagi lengket-lengketnya. Gaada istilah putus-nyambung atau bongkar pasang seperti titel yang didapat dari teman-temannya. Lagi adem-ademnya, lagi akur-akurnya karena sama-sama sadar gak semuanya perlu diributin. Atau malah... karena capek?

Nata sih gak merasa demikian. Gaada kata capek buat sekedar ngertiin Haura, sebenernya. Cuma emosinya kadang gabisa diajak kompromi untuk hal-hal kecil kayak dulu.

Srikandi Love-lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang