London, 10 Juli 2015.
Langit memang sudah berganti malam, matahari memang sudah turun, dan digantikan oleh bulan.
Tapi cintaku kepadanya sampai sekarang belum hilang. Bahkan mungkin tidak akan hilang sampai selamanya.
Ah, aku terlihat sangat puitis.
Tapi itu yang kurasakan sekarang. Aku sangat mencintainya. Masih. Perasaan itu belum berubah, walaupun kami dipisahkan oleh jarak ribuan mil.
Gadis itu layaknya musik bagi not-not balok yang kutulis. Dia layaknya senar bagi gitarku. Dia pelengkapku.
Sampai saat ini belum pernah kutemi gadis seperti dirinya. Periang, apa adanya, baik hati.. Belum pernah.
Mungkin memang ada, tapi mereka bukan Prilly.
Lebih tepatnya, aku mencintainya karena dia Prilly. Prilly Latuconsina, teman sekelasku dulu sewaktu SMP.
Sudah lama aku tidak mendengarkan suaranya yang sanggup membuatku terfokus hanya pada dirinya saja ketika ia berbicara.
Kini aku berdiri di atas balkon apartment, memutar kembali setiap kenanganku bersama gadis cantik itu.
Aku merindukan dirinya, tapi aku tidak bisa mengatakan hal itu. Aku terlalu pengecut.Seharusnya aku bisa membuka e-mail, mengetikkan pesan, lalu mengirimnya. Tapi lagi-lagi aku terlalu pengecut.
Aku bukan pria yang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaanku. Berbeda dengan Prilly.
Gadis itu.. Astaga, hanya dengan kata-kata sederhananya saja mampu membuat jantungku berdegup kencang.
***
"Jadi, ternyata lo masih nungguin gue minta jawaban ke lo." Ali berdiri di hadapan Prilly sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.Prilly mengangguk. Matanya terarah ke arah lain. Tapi gadis itu tersenyum.
"Kenapa?"
Prilly menatap Ali tepat dikedua manik matanya.
"Kenapa lo nanya 'kenapa'?" Ia menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa lo masih nunggu gue minta jawaban ke lo?" Ali balas menatap Prilly.
"Apa hal itu butuh alasan? Gue kira enggak." Katanya. "Tapi kalo lo maksa, alasannya sederhana. Gue udah jatuh cinta sama lo." Prilly tersenyum.
Ali bisa berkata kalau waktu itu ia merasa jantungnya akan jatuh ke tanah. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Yang ia lakukan hanyalah memegang tangan Prilly dan menatap wajahnya.
"Gue minta lo jadi pacar gue." Kata Ali.
"Gue kira lo bakalan 'nanya' jawaban gue." Prilly menatap Ali.
"Buat apa gue minta jawaban dari lo ketika gue udah tau jawabannya?"
Prilly tersenyum. Dan saat itu, Ali mengetahui jawaban gadis di depannya.
***
Selama ini, aku hanya bisa menatap fotonya yang masih kusimpan di dalam ponsel.Prilly tidak pernah tau kalau aku menyimpan banyak fotonya. Dia selalu berpikir bahwa aku tidak ingin menyimpan fotonya, karena terlalu berlebihan.
Tapi pada kenyataannya, aku menyimpan foto gadis kesayanganku. Gadis yang selama ini mengisi kekosongan hatiku.
"Gue kira siapa. Ternyata lo." Suara itu membuatku menoleh kebelakang. Kevin berdiri di sana. "Ngapain belum tidur? Besok ada presentasi." Katanya.
"Gue gak bisa tidur.""Why?" Kevin berjalan kearahku sambil membawa secangkir kopi susu. "Prilly lagi?"
Aku mengangguk dan menolehkan kepalaku lurus kedepan lagi.
"Li," Panggil Kevin setelah menyesap kopinya. "Sekali-kali lo emang harus berusaha. Kenapa nggak lo coba aja hubungin dia?"
"Gue.." Aku menghela nafas panjang. "Gue nggak punya cukup keberanian."
"Tapi sampe kapan?" Tanya Kevin. "Sampe kapan lo terus-terusan jadi pengecut?"Aku terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaannya.
"Saran gue, kalo lo masih cinta sama dia, waktu liburan nanti lo pulang ke Indonesia. Datengin dia."
Aku tidak tau apakah aku sanggup menatap wajahnya nanti.
"Sebelum semuanya terlambat, sebelum lo nyesel karena lo nggak mau ngelakuin saran dari gue."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan
Short StoryKenangan membuat diriku menyadari bahwa aku masih mencintainya. Namun mustahil kalau kami dapat kembali bersama. -Prilly Kenangan membuatku merindukan celotehannya, tawanya, dan senyumnya. Tapi itu semua hanya tersisa dalam bayanganku. -Aliando