Ali turun dari pesawat dan menggeret kopernya. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki ke Jakarta.
Pria itu menghela nafas dan mencari-cari keberadaan saudara perempuan yang menjemputnya di bandara.
"Ali!"
Suara itu berasal dari belakang Ali. Ali menoleh kebelakang dan melihat Kaia--saudarinya--sedang berlari dengan tangan terentang.
"Yaampun adek gue! Udah gede sekarang!" Seru Kaia sambil memeluk Ali dengan erat. "Gue kangen lo tau."
Ali tertawa kecil. "Gue juga." Ia balas memeluk Kaia. "Oh ya, selamat buat pertunangan lo sama Brandon. Gue nggak nyangka akhirnya lo tunangan sama dia."
"Oke, thanks bro." Tiba-tiba, terdengar suara lain. Brandon.
Kedua pria itu langsung berpelukan.
"Long time no see. Gimana London?"
"Nggak buruk-buruk banget." Kata Ali sambil tersenyum lebar.
"Ngomongnya sambil jalan aja!" Ajak Kaia. "Mama di rumah udah nungguin. Lo dimasakin makanan favorit lo, tau."
"Oh ya?" Tanya Ali, disusul anggukan kepala dari Kaia.
Namun sebagian hatinya masih hampa; ia belum bertemu dengan Prilly.
***
Prilly menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya. Bunda Resi--panggilan Prilly untuk ibu Ali--baru saja mengiriminya pesan yang mengatakan bahwa hari ini Ali pulang dari London.Sekedar informasi, sampai sekarang Prilly masih dekat dengan orangtua mantannya itu.
"Prill, kok bengong?" Gritte menepuk bahu Prilly.
"Eh.. Gapapa kok." Prilly tersenyum.
"Yakin?"
Gadis itu mengangguk dan kembali membaca pesan itu untuk yang enrah keberapa kalinya.
Prilly, hari ini Ali kembali ke Indonesia... Kamu nggak mau ketemu dia?
Hatinya ingin bertemu dengan pria itu. Tapi otaknya mengatakan tidak. Prilly menghela nafas panjang dan memutuskan untuk menenangkan dirinya di taman favorit gadis itu.
***
Sudah hampir sejam ia duduk di bawah pohon dan mencoret-coret bukunya. Namun, perasaannya masih kalut. Ia masih tidak bisa menghilangkan keinginannya untuk bertemu dengan pria itu."Duh.. Prill. Lo kenapa sih.."
"Masih aja suka duduk di bawah pohon."
Suara itu membuat Prilly duduk tegak. Ia terdiam selama beberapa saat.
Gue pasti berhalusinasi. Batinnya seraya menggelengkan kepala.
"Udah lupa sama suara gue?"
Suara itu terdengar lagi. Kini, Prilly memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Dan benar saja, sosok pria yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di depannya.
Tidak banyak yang berubah dari pria itu. Matanya masih setajam elang, rambutnya masih hitam--kesukaan Prilly, dan suaranya masih mampu membuat gadis itu salah tingkah.
Yabg berubah hanyalah tinggi badannya. Ia kini jauh lebih tinggi, membuatnya makin terlihat seperti pria dewasa.
"Jakarta nggak banyak yang berubah, ya?"
Kini, suasana terbalik. Dulu, biasanya yang banyak bicara Prilly, namun sekarang Ali.
"Lo juga nggak banyak berubah." Lanjut pria itu.
"Lo berubah," Prilly akhirnya buka suara. Ia menatap lurus ke depan lagi. "Sekarang lo lebih banyak bicara daripada dulu."
Ali hanya tersenyum kecil.
"Apa kabar, Prill?"
"Gue... Baik. Lo?"
"Nggak pernah sebaik saat gue dateng lagi kesini."
Prilly berdiri dan menatap Ali dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca.
"Maksud lo?"
"Gue bahagia bisa kembali ke Jakarta walaupun cuman buat liburan." Ali mengangkat kepalanya, melihat langit-langit. "Gue bahagia."
Prilly masih diam.
"Gue liat mama masih sehat, Kaia yang bahagia sama Brandon.. Dan gue lihat lo sekarang masih dalam keadaan baik.. Itu lebih dari cukup."
"Ali.."
"Jangan potong gue, Prill. Gue belum selesai." Ali menghela nafas panjang. "Jujur aja, gue emang pengecut selama ini. Gue nggak berani ngehubungin lo duluan."
Ali menurunkan wajahnya, menatap Prilly.
"Prilly," Panggilnya sambil meraih tangan Prilly. "Koreksi gue kalo gue salah. Untuk saat ini, izinkan gue buat bertindak egois. Hanya sebentar."
Prilly menatap tangannya yang berada dalam genggaman Ali.
"Apa lo mau nunggu gue minta jawaban dari lo untuk kedua kalinya?"
Prilly tidak percaya dengan semua ini. Ia kehabisan kata-kata.
Ali melepaskan tangannya.
"Tapi gue tetep nggak akan ngelarang lo pacaran sama cowok lain. Gue nggak bisa egois sampai sana."
"Ali," Prilly menatap cowok di depannya itu. "Gue minta lo egois. Gue minta lo ngomong kalo lo nggak mau gue pacaran sama cowok lain selain lo."
Ali terdiam.
"Karena gue masih cinta sama lo, Ali. Mau sekeras apapun gue nyoba buat lupain lo, gue selalu gagal."
"Kalo gitu," Ali mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dan membukanya di depan Prilly. "Gue mau lo nyimpen ini buat gue."
"Ali.." Prilly terkesiap.
Ali mengambil cincin yang berada di dalam kotak itu dan memasangkannya pada Prilly.
"Simpen cincin itu sampe gue lulus. Gue janji, setelah gue lulus, gue bakalan kembali ke Indonesia. Lo boleh pegang janji gue."
Prilly mengangguk sambil tersenyum.
Akhirnya, aku bisa kembali melihat senyum itu lagi, senyum yang jadi candu buatku. Ah tidak, semua yang ada pada Prilly adalah candu bagiku.
Ketika Ali memasangkan cincin itu ke tanganku, aku merasa lengkap. Aku merasa sebagian hatiku yang hilang telah kembali.
***
Note:
Gimanaaaa short-fic nyaaaa? Lebay yaaa? Maaf dehh>< hehehe.Jangan lupa vote and comments yaa!
Immafangirlyea xx
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan
Short StoryKenangan membuat diriku menyadari bahwa aku masih mencintainya. Namun mustahil kalau kami dapat kembali bersama. -Prilly Kenangan membuatku merindukan celotehannya, tawanya, dan senyumnya. Tapi itu semua hanya tersisa dalam bayanganku. -Aliando