Dari kamar mandi, kini Jaemin menuju halaman samping gedung. Tadi ia hanya sempat membasuh wajah, berusaha mengenyahkan pikiran kotor yang membayangi.
Ia butuh penenang, dan kini dengan mematik korek api, ia menyalakan rokok yang berada di sela bibir.
Satu batang akan ia habiskan secepat mungkin, setelah memeriksa sekitar dalam keadaan aman. Jika saja di toilet tadi tidak ada pendeteksi kebakaran, pasti ia kan memilih merokok didalam sana.
Lagi enak-enaknya berjongkok sambil bersandar di dinding, ia dikejutkan dengan suara kucing mengeong marah, siap berkelahi.
Jaemin bangun dari duduknya, melihat kearah sumber suara yang cukup mengganggu. Rokok ditangan dijatuhkan ketanah lalu dipijak dengan sepatu meski masih banyak sisanya.
Anehnya, suara kucing itu tiba-tiba menghilang begitu saja.
Dengan penasaran, ia mencari dimana kucing tersebut. Hingga sampailah di samping pohon dengan batang besar. Ada tetesan darah, kening Jaemin mengerut heran mengikuti tetesan tersebut hingga mengantarkannya ke seonggok tubuh kucing dengan perut terkoyak.
Reflek ia menutup mulut menatap ngeri melihat isi perut yang keluar dari sana, lalu memundurkan langkah hingga punggungnya membentur sesuatu. Ketika berbalik, pupil matanya membesar.
Syok berat melihat Jeno yang tersenyum kecil dengan mulut yang belepotan darah. Tak ada lagi yang Jaemin ingat sebab kegelapan menyelimuti, ia jatuh pingsan tanpa diduga setelah bertatapan langsung dengan netra merah milik Jeno.
...
"Oleskan yang benar!"
"Ini sudah benar, kau sajalah yang melakukannya."
Jaemin membuka perlahan kelopak matanya, saat runggu mendengar suara ribut tak jauh darinya.
"Dia sudah bangun."
Netranya menangkap kehadiran 4 orang, satu dua orang yang duduk di samping kanan dan diri dua lagi berdiri.
"Minum dulu," ujar pria yang disebelah kanan membantu Jaemin duduk saat yang di samping kirinya menyediakan air putih.
Keningnya terasa berdenyut nyeri, saat ia sentuh ada perban yang mengelilingi kepala. "Kepalaku," lirih Jaemin.
"Kepalamu memar, sepertinya terbentur benda keras. Kau tadi ditemukan security pingsan di bawah pohon angker belakang gedung," jelas pemuda yang berdiri, baju yang terdapat name tag bertuliskan 'Yangyang, berbeda dengan yang lain yang tak menggunakan benda pengenal tersebut.
"Kamu kok ada disana sih?" Tanya yang duduk di samping kanan, kalau tidak salah ingat namanya Ten, pria keturunan Thailand.
"Em, itu ... " Kelu rasanya lidah Jaemin ingin mengatakan bila ia cari tempat aman buat merokok, apalagi ia baru di sini dengan status anak magang.
"Nak Jaemin sudah sadar?"
Semua atensi teralih pada dokter paruh baya yang masuk diantara mereka, kacamata kotak yang bertengger dengan tahi lalat sebesar biji jagung dibawah hidung menjadi ciri khas.
"S-sudah," jawab si pemilik nama dengan canggung.
"Permisi ya, saya mau cek lebih lanjut lukanya." Ten menyingkir, membiarkan dokter tersebut memeriksa.
Jaemin nurut-nurut saja, dirinya diperiksa sana sini. Yang lainnya berdiri berjejer di dekat pintu, menunggu, sedangkan si dokter yang sedang fokus malah salah lihat kearah kerah kemeja yang sedikit tersingkap.
"Nak Jaemin, mohon maaf, boleh saya lihat area lehernya?"
Meski kebingungan Jaemin menganggukkan kepala, empat pria dibelakang saling lirik. Kening dokter itu mengerut melihat ada dua titik luka di area selangka dekat bahu.
Si dokter beralih memandang Jaemin, yang di tatap keheranan dan mulai merasa tak nyaman, dengan segera ia menutup kancing atas.
Raut wajah si dokter misterius sekali menurut Jaemin, tapi tak kunjung memberikan diagnosa, hanya tersenyum penuh makna.
- Blood -
30/09/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood
FantasyDingin, menyakitkan dan tak punya nurani tapi begitu mempesona, memikat dan nikmat. Sulit menjabarkan sosok Jeno bagi Jaemin.