TIGA

98 16 4
                                    

Aroma musim semi begitu kencang tersapu udara yang membawa aroma bunga. Kuncup-kuncup tulip mulai terlihat, bunga-bunga lain juga tidak ingin tertinggal meramaikan pesona musim ini. Sebuah sepeda terparkir dipinggir jalan. Disampingnya Zalina berjongkok dengan keringat yang menghiasi dahinya. Sesekali menggerutu sambil berusaha memperbaiki rantai sepedanya yang terlepas.

Sebuah bel sepeda berbunyi tak jauh darinya. Membuat gadis itu menoleh menatap sepeda berwarna hitam silver itu berhenti tepat disamping sepedanya. Ivar, lelaki itu duduk diatas sepedanya menanyakan keadaan Zalina.

"Sepedamu kenapa?"

"Rantainya lepas. Aku sudah memperbaikinya tapi lepas lagi." Zalina mengubah posisinya menjadi duduk membiarkan roknya menyapu jalanan.

Ivar memarkirkan sepedanya, lalu berjongkok diseberang Zalina. "Ah ini akan membuat tanganku kotor. Tinggalkan saja sepedamu. Ayo ku antar pulang atau ku antar ke halte."

"Naik apa? Lalu sepedaku bagaimana?"

Menoleh kekiri dan kekanan, Ivar mencari area parkir untuk sepeda. "Parkir disitu saja sepedamu. Kau bisa mengambilnya nanti atau besok dengan ayahmu." Ivar menunjuk salah satu besi panjang yang menjadi area parkir umum di taman.

"Kau bisa membonceng denganku, berdiri di belakang. Berdiri dipijakan ini seperti yang dilakukan Justin dan yang lain saat memboncengku." Tawar Ivar.

Tak ada pilihan lain, Zalina mengangguk. Gadis itu bangun, memakai tasnya dan mendorong sepedanya ke area parkir, mengaitkan pengunci lalu menghampiri Ivar.

"Kau punya tisu basah? Tanganku kotor nanti bisa mengotori tas atau baju seragammu." Ucap Zalina.

Menggeleng Ivar memberikan response, "Sudah ayo naik saja."

"Baiklah. Aku tidak berat tapi kau tetap harus hati-hati. Jangan sampai aku jatuh." Ucap Zalina.

"Iya cerewet."

Meletakan kedua tangannya pada pundak Ivar, Zalina menginjakkan kakinya pada besi penyangga lalu mengangkat kaki lainnya agar melewati roda dan kembali berpijak ke sisi lainnya. Mengatur keseimbangan gadis itu mencengkram erat pundak Ivar.

"Sudah, aku siap. Kau hati-hati."

Mengayuh sepedanya perlahan, Ivar mengatur keseimbangannya, berhati-hati. Memastikan dia tidak terjatuh karena Zalina berkali-kali mengancamnya.

"Dimana rumahmu?" Tanya Ivar, lelaki itu mengeluh Zalina mengoceh tanpa henti sejak tadi.

"Dua blok didepan kau ke kiri. Lalu menyeberang kekanan dan blok ketiga adalah rumahku. Mau bergantian aku yang mengemudi?" Ucap Zalina.

Ivar menggeleng, "Tidak, ini sama dengan latihan fisik. Hanya saja sungguh kau brisik sekali ya ternyata. Mengoceeeeeh saja."

Zalina tertawa ringan, masih dengan posisinya berdiri dibalik punggung Ivar dan memegang kedua pundaknya. "Tentu. Wanita butuh mengeluarkan sepuluh ribu kata tiap hari."

"Tapi kau diam saja di kelas?"

"Kelas tempat kita untuk belajar Ivar. Bukan merumpi seperti yang kalian lakukan atau bermain ponsel seperti yang Nathan lakukan."

Ivar berdecak, "Tapi sekolah tempat belajar dan bermain."

"Kau kan bisa bermain saat istirahat, jam kosong, atau makan siang. Kalian berempat duduk disekitarku membuatku pusing rasanya. Berisiiiiik sekali."

"Sengaja. Kan kami tidak ingin kau jadi juara kelas lagi." Ucap Ivar ringan sambil tertawa. Membuat Zalina kesal dan menjahili Ivar dengan mencolek pipi lelaki itu dengan tangannya yang kotor.

"Hei! Awas saja aku jatuhkan kau!" Ivar mencoba menggoyangkan sepedanya, membuat Zalina berteriak panik dan berpegangan pada leher Ivar, yang justru membuat lelaki itu terbatuk dan oleng.

Keduanya nyaris terjatuh dalam tawa mereka.

"Awas kalau aku terjatuh, aku akan balas dendam padamu." Ucap Zalina kembali berpegang pada pundak Ivar.

"Kau yang memulai duluan ya Zalina yang cerewet dan menyebalkan."

Kembali mengayuh sepedanya, Ivar dan Zalina larut dalam obrolan mereka. Sesekali suara merdu Zalina menyapa telinga Ivar lewat lagu-lagu hits yang dia nyanyikan. Hingga tanpa sadar mereka sudah sampai didepan rumah besar tempat tinggal Zalina.

"Stoooop, ini rumahku." Ucap Zalina menepuk pundak Ivar.

Menarik remnya, Ivar menghentikan sepedanya, menjaga keseimbangan agar tidak limbung ketika Zalina turun. "Wow rumahmu besar. Kau orang kaya?"

"Tidak, yang orang kaya itu kan Rafael dan Nathan." Jawab Zalina turun dari sepeda Ivar.

Gadis itu menepuk beberapa kali kakinya karena terkena debu dari roda sepeda Ivar.
"Terima kasih tumpangannya. Akan ku bawakan camilan besok untuk kelas belajar bersama Zalina!" Seru gadis itu ceria.

"Sama-sama. Aku pulang ya."

Mengangguk ringan Zalina melambaikan tangannya pada Ivar. "Hati-hati! Sampai jumpa besok!"

Zalina melihat Ivar menjalankan sepedanya menjauh dari halaman rumahnya. Gadis itu tersenyum lalu memasuki foyer rumahnya. Sambil terus berpikir, 'Ivar tidak semenyebalkan yang dia kira.'

TIENERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang