02

98 17 2
                                    

"Apa mau mu?" suara berat Zian seolah menyadarkan Haru bahwa sosok yang selama ini ia pikir tidak akan bertemu kembali benar-benar berdiri di hadapannya.

Satu telapak tangan Haru terkepal di sisi celananya. "Sudah lama ... tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"

Zian sedikit lebih tinggi dari Haru, matanya agak menatap ke bawah, memandang Haru sembari bersedekap dada, bersandar menyamping pada kusen pintu.

"Baik. Apakah basa basi seperti ini perlu?"

Haru menggigit bibirnya. Gelisah dengan respon Zian. Bagaimanapun bahkan sampai kapanpun, Haru tidak akan terbiasa dengan Zian yang seperti ini. Tidak akan pernah terbiasa, Haru juga tidak punya keinginan untuk membiasakan dirinya.

Menghela napas. Haru mengumpulkan tenaga untuk ini semua. Mengingatkan diri sendiri bahwa ini adalah harapannya untuk bertemu kembali dengan Zian.

"Mungkin tidak perlu tegang begitu. Sudah satu tahun, aku sama sekali tidak mendengar kabarmu." Haru mengangkat sebuah kotak makanan di tangannya. "Aku senang bertemu denganmu di sini ... sebuah kebetulan, tapi ... aku hanya sedang berusaha."

Zian tersenyum, tipis dan sangat samar. Pertama kalinya sejak hari dimana Zian berubah, tercipta senyum di wajahnya untuk Haru. Meskipun rasa lega itu hanya sementara karena senyum itu berbeda. Tidak sama ketika Zian tersenyum tenang dan penuh kasih pada Haru. Senyum kali ini tampak remeh dan sarkas. Seketika Haru kehilangan segala rasa siap yang telah ia coba bangun.

"Serius Haru, apa mau mu?" Zian berdiri tegap. "Aku tidak ingin membuang waktu. Tidak kah kamu mengerti dari sikap ku bahwa aku tidak tertarik dengan apapun yang berhubungan denganmu?"

Haru dapat merasakan bibirnya mulai bergetar, matanya panas dan tepi pandangannya mulai buram. Seolah sedetik lagi akan mengalir dari maniknya air mata yang berusaha ia tahan.

"Aku ... " suaranya tertahan di tenggorokan. Berusaha tenang sebisa mungkin. "Untuk saat ini ... hanya ingin menyapa." Apalagi yang bisa ia katakan?

"Untuk saat ini? Lalu apa yang nantinya akan kamu lakukan? Terus menggangguku?"

Haru adalah eksistensi yang mengganggu Zian. Tidak pernah terbayangkan kalimat itu akan terucap dari mulut seseorang yang selalu Haru kagumi.

"Ini," Haru menyerahkan kotak makanan ke tangan Zian, agak kaget lelaki itu tidak berkomentar apapun. "Terima saja. Lagipula, aku akan menjadi tetanggamu, untuk beberapa tahun ke depan." Haru bergerak mundur, "itu jika kamu tidak pergi lagi, aku berharap kamu tidak begitu sebelum aku sempat menyelesaikan semuanya, hal di antara kita."

Jika Zian kepalang membenci Haru, atau bahkan tidak ada kesempatan baginya, maka menurut Haru dia tidak perlu menahannya lagi. Menumpahkan isi hatinya pada Zian, dilakukan atau tidak, lelaki yang lebih tua sudah terlanjur membencinya. Maka mengatakan sejujurnya apa yang Haru rasakan bukan lagi menjadi kesalahan yang fatal.

"Apapun di antara kita, itu sudah lama selesai."

"Kamu tidak pernah memberiku kesempatan." Sebenarnya ini bukan bagaimana Haru ingin membicarakan semuanya.

Pandangan Zian semakin tajam, rahangnya mengeras namun dia tidak mengatakan apapun selama beberapa detik. "Aku tidak ingin menerima ini," tangannya menyodorkan kotak makanan kembali pada Haru. "Untukmu saja, badanmu kurus sekali."

Yang lebih tua bergerak mundur, masuk ke dalam dan menutup pintu. Haru hanya bisa mendesah, mungkin kecewa pada diri sendiri? Menyalahkan waktu dan keadaan? Entahlah, dirinya juga merasa segala perasaannya campur aduk. Namun dia masih tidak ingin menyerah, tidak ketika pada akhirnya Zian berada sedekat ini dengannya. Kotak makanan yang terbungkus plastik itu ia gantung pada kenop pintu kamar Zian.

Setelah Kita Bertemu Kembali | HaoBinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang