Part 02

628 21 4
                                        

"Hai... Hai...", sepanjang koridor Arman terus menyapa semua wanita yang berpapasan dengannya. Terkadang tidak hanya menyapa, tapi juga melempar kissbye atau pujian.

'Ya Tuhan! Sampai kapan semua ini berakhir??!!', aku terus membenturkan berulangkali buku yang aku pegang ke keningku. Hingga aku pun tak sadar, jika aksiku ini telah menghilangkan konsentrasi untuk memperhatikan jalan yang ada di depan.

Aku menabrak sebuah tong sampah. Badanku sempoyongan karena berusaha untuk menjaga keseimbangan. Tapi sepertinya berat badanku mengalami peningkatan. Kareba aku tidak mampu menjaganya. All hasil aku hanya bisa pasrah dengan memejamkan kedua mati. Tapi beruntung banget ada seseorang yang dengan cepat menangkap tubuhku.

Aku yakin orang itu bukan Arman. Karena yang aku ingat, Arman masih berada beberapa meter di belakangku. Lalu siapa orang yang telah menolongku?

Aku membuka kedua mata secara perlahan. Dan...

'Astaga! Cowok ini keren banget. Mata coklatnya yang indah, hidungnya yang mancung, lesung pipinya, dan brewoknya yang tipis. Astaga! Astaga! Astaga! Aku butuh oksigen!', gumamku dalam hati.

"Udah deh, nggak usah kayak di sinetron-sinetron segala. Lepas! Lepas!", Arman datang menghampiri dan dengan sengaja menyingkirkan tangan orang itu dariku. All hasil, aku jatuh dan langsung menatapnya kesal.

Melihat kejadian itu, Arman bukannya merasa bersalah tapi justru ketawa ngakak. "Hahaha"

Aku hendak mengumpatnya bahkan mengutuknya jadi batu. Namun semua tertahan saat kembali melirik ke arah cowok yang tadi menolongku. Dia tersenyum ke arah ku. Dan astaga! Lagi-lagi aku merasakan perasaan yang nggak biasa. Tubuhku kenapa jadi lemes begini. Jika diibaratkan, kaki ku sekarang seperti cokelat yang ditaruh diatas kompor. Lumeeeerrrr.

'Who is he???'

"Arul...!!!", mendadak seseorang memanggil sebuah nama yang tak asing terdengar di telingaku.

"Iya, Yah", cowok itu menjawab sahutan.

'Jadi namanya Arul? Tapi... tunggu tunggu. Kenapa dia panggil pak rektor dengan sebutan ayah? Apa mereka...'

"Anjani, sedang apa kamu di lantai?", tanya rektor membuyarkan lamunanku.

"Maaf pak, Anjani ini lagi terobsesi banget jadi bintang film. Nah, kebetulan kemaren itu ada audisi untuk peran utama jadi suster ngesot. Jadi dia latihan deh", jawab Arman masih ketawa-ketiwi.

"I don't like your joke!", ujarku ketus kemudian berdiri seraya membersihkan celana ku yang kotor.

"I don't like you!"

Aku menatap kesal Arman. Mungkin kalau di kartun-kartun, mukaku sekarang sudah berubah jadi warna merah, muncul tanduk di kepalaku, dan keluar asap dari hidungku.

"Sudah hentikan. Kenapa kalian jadi bertengkar?"

Aku dan Arman saling memalingkan wajah.

"Jadi nama kamu Anjani?", tanya Arul kemudian.

Saat Arul melontarkan sebuah pertanyaan itu, wajah masamku seketika berubah sok manis, sok imut, sok cantik, dan apalah itu namanya.

"Iya. Namaku Anjani. Anjani Kirana. Hai...!!!", aku melambaikan tangan ke arahnya.

Berharap mendapat sambutan yang sama seperti yang aku lakukan, Arul justru hanya membalasnya dengan tatapan penuh misterius.

'Duh, kenapa liatinnya begitu banget sih? Kan jadi gemeeesssshhh'

"Oh iya! Bukannya jam pelajaran pertama itu si bu Dewi ya. Bisa gawat nih kalau kita telat masuk. Maaf ya pak, kita pamit duluan. Permisi", Arman menarikku dan menggiring pergi.

***

Saat kami sudah berada jauh, aku melepas paksa cengkraman tangan Arman. Arman menoleh ke arahku. Kemudian mengangkat kedua alisnya.

"Buat apa sih kita buru-buru? Bel masuk juga belum kedengeran"
"Ya memang belum sih. Tapi kan kamu tau. Bu Dewi itu galak"
"Aku tau, ini bukan masalah soal bu Dewi yang galak. Tapi masalah kamu tidak suka kalo aku lama-lama sama cowok tadi kan?"
"Siapa? Pak rektor? Ya jelaslah!"
"Bukan dia. Tapi cowok yang ada disampingnya. Cowok yang udah nolongin aku. Cowok yang membuat aku merasakan sesuatu yang berbeda"
"Berbeda gimana maksudnya?"
"Yaaa berbeda saat aku ada di dekat kami. Kalau di dekat kamu, aku kan bawaannya emosian terus. Tapi tadi pas di dekat dia, bawaannya mau minta dipeluk terus. Gemessshhh..."
"Berlebihan banget sih jadi ceweknya?"
"Loh, kamu kenapa? Gerah yaaa?"
"Kalau iya kenapa? Kalau tidak kenapa?", Arman mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku.
Aku membisu. Entah kenapa jatungku berdegup lebih cepat dibanding tadi. Apa karena ini pertama kalinya Arman berani memperlakukanku seperti ini?
"Sepertinya kamu yang lebih gerah", lanjutnya kemudian.
"Ya iyalah gerah. Buat apa coba deket-deket begitu. Sumpek tau!", aku mendorong kasar tubuh Arman dan ngeloyor pergi saat mendengar suara bel berbunyi.

Arman tersenyum kecil dan berjalan menyusulku.

***

KUCEK KUCEK HATINYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang