Pohon Beringin

4.6K 279 103
                                    


Pohon itu besar dan lebat. Batangnya tegak dan bulat. Diameternya sangat besar. Kayunya kasar berwarna putih keabuan. Daunnya licin berbentuk oval dengan ujung meruncing dan pangkal tumpul. Bagi beberapa orang, pohon itu terlihat seram memberikan kesan horor. Sebagian orang lainnya menganggap pohon itu adalah tempat perlindungan dan lambang pancasila ketiga. Namun bagiku, pohon itu adalah tempat yang istimewa.

Di bawah pohon beringin itu, aku bertemu dengan Aluna. Setiap hari perempuan itu selalu duduk di sebelahku, penuh keringat mengenakan seragam sekolahnya seolah memberitahuku, sepulang dari sekolahnya dia langsung menghampiri tempat ini. Rambutnya panjang diikat 'ponytail', matanya bulat, bibirnya merah, hidungnya tidak mancung tapi tidak pesek juga. Oh iya, dia juga manis.

"Ehh... ric? Udah di sini dari jam berapa?"

"Ohh enggak, aku baru aja sampai di sini."

Di bawah pohon beringin ini menjadi tempat tanpa janji aku dan Aluna setiap harinya bertemu. Sudah lewat delapan bulan, tapi aku masih ingat hari dimana pertama kali Aluna masuk dalam hidupku. Delapan bulan lalu, dia datang tiba-tiba di sebelahku, di bawah pohon beringin ini.

"Pohonnya besar ya," katanya. Dia muncul seperti seseorang yang 'SKSD'. Tidak, maksudku, dia memang sok kenal sok deket sama aku. Aku hampir mengira dia akan menjual produk 'MLM' kepadaku.

"Aku suka warna daunnya," kataku basa basi.

"Bukannya semua daun warnanya sama aja? hijaukan?"

"Enggak, yang ini hijaunya beda."

"Apa bedanya?"

Aku terdiam karena aku memang tidak pernah memikirkan tentang warna daun itu. Aku hanya memandangi pohon itu karena itu memberikanku ketenangan. Dia gagah perkasa seakan memberikanku perlindungan yang tak akan tertembus oleh siapapun, oleh apapun.

"Bukan cuman daunnya, tapi keseluruhan pohon ini, memberikanku ketenangan."

"Ketenangan?"

"Minggu lalu, kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Aku tidak suka berada di rumah. Tempat itu menyimpan terlalu banyak memori bersama mereka."

Orang yang pemalu dan sulit bergaul sepertiku ini seharusnya tidak seberani dan seterbuka itu untuk menceritakan hal privasi kepada orang lain, apalagi orang yang baru pertama kali kutemui. Namun, di bawah pohon beringin ini, aku merasa mendapatkan perlindungan. Aku merasa, aku adalah orang yang pemberani. Aku berani untuk menjalani hari tanpa orang tua, tanpa siapapun. Aku berani untuk berbicara dengan perempuan di depanku ini.

"Aluna, namaku Aluna. Namamu?"

"Eric."

"Salam kenal ric! Aku pergi dulu ya, aku harus bimbel!"

Aku yakin dia pergi karena jijik. Aku orang yang baru ditemuinya sudah menceritakan hal yang berat kepadanya. Dia pasti membenciku. Aku berkata pada diriku sendiri, "kok jadi kayak aku yang 'SKSD' sih, ngapain sih ric cerita begituan."

Besoknya dia datang lagi di waktu yang sama. Dia duduk di sebelahku tanpa berkata apapun. Situasi itu bertahan untuk beberapa menit sampai akhirnya aku memutuskan untuk memecahkan keheningan itu.

"Kenapa rambutmu jadi warna hijau?"

"Akhirnya! Peka juga kamu! Iya nih aku cat rambutku jadi warna hijau!"

"Hahaha alay."

"Dih? Bukannya kamu suka warna hijau? Warna daunkan itu."

"Aku bohong."

"Yah.. percuma dong aku cat rambutku jadi warna hijau, tapi minimal kamu tertawa!"

Aku tidak akan pernah bisa melupakan senyum Aluna hari itu. Senyumnya lebar, bersinar terang, menyinari hidupku yang gelap ini. Sejak hari itu, dia adalah duniaku. Aku jatuh cinta padanya, pada orang itu. Pada Aluna, perempuan yang sengaja cat rambutnya jadi hijau untuk menghiburku di saat aku tidak punya siapapun lagi. Perempuan yang terus menemaniku setiap harinya hingga hari ini.

"Ric! Kenapa malah bengong?"

"Oh enggak, aku keinget masa lalu aja."

Awan-awan gelap menghias langit. Aroma hujan terendus oleh hidungku. Aluna dengan rambut hijaunya yang sudah mulai pudar itu tetap duduk santai di sebelahku. Di tengah cuaca mendung ini, hatiku terus bergejolak dengan ceria. Sudah delapan bulan aku bersamanya. Aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku kepada Aluna hari ini. Delapan bulan adalah waktu yang sangat cukup untuk meyakinkanku bahwa Aluna adalah orang yang kucintai.

"Pohonnya besar ya."

"Aku suka warna daunnya."

"Oh ya? Bukannya dulu kamu bilang kalau kamu bohong?"

"Iya, tapi sekarang udah jadi enggak bohong lagi."

Seperti pohon beringin, cintaku besar dan lebat. Keinginanku untuk mendapatkannya tegak dan bulat. Mungkin hidupku kasar berwarna putih keabuan. Tapi bersamanya, hidupku licin berwarna hijau seperti daunnya, seperti rambutnya.

Waktu seakan berhenti. Semua terdiam, hanya ada sunyi. Seakan cuaca memberi kesempatan, gerimis pun tak kunjung turun. Aku mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan rasa yang terkurung. Aku mencintai Aluna dan aku ingin dia tahu soal perasaanku.

"Eh ric, sorry ya, aku harus cabut duluan. Aku udah dijemput sama cowokku! Bye!"

Aku terkejut. Seluruh tubuhku menjadi kaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu bila Aluna sudah memiliki pasangan. Pikiranku menjadi kosong. Tidak, sebenarnya ada dua kata yang terlintas di pikiranku. Aku hanya tidak ingin mengucapkannya saja.

"Bye Aluna!"

"Oh iya ini, payung buat kamu, balikinnya besok aja ya."

Aluna berlari menuju jalan raya. Aku melihatnya memasuki sebuah mobil fortuner berwarna putih. Di dalam mobil itu terlihat seorang lelaki yang tidak kukenal, membawa Aluna pergi.

Gerimis pun turun tak kunjung henti. Dari gerimis, menjadi hujan deras, membasahi seluruh tubuhku. Tak ada satu pun air mata yang jatuh dari mataku. Tak ada suara kesedihan yang terdengar dariku. Semua terhapus bersama dengan hujan.

Seperti pohon beringin, ujung cinta ini runcing menusuk hatiku dan pangkal cinta ini tumpul tak tersampaikan.

Sekali lagi, aku berlindung di bawah pohon beringin. Berharap daun berwarna hijau itu terus menemaniku hingga aku tua nanti.

Tamat.

Pohon BeringinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang