- Bagian Kedua -

1 0 0
                                    

Jurnalistik - merupakan ekstrakurikuler yang terdapat di sekolah MAN 4 dan terdiri dari beberapa bidang di antaranya seperti; Penulis, fotografer, videografer, editor, reporter, dan juga broadcasting—

"Woy! Balik sekolah kumpulan dulu ke ruang jurlis!" teriak seorang gadis yang duduk semeja dengan Lidia, sebelum teman-temannya itu kabur melarikan diri.

"Sekarang?" celetuk orang yang selama pelajaran terakhir berlangsung, dia tertidur pulas dengan kepala bersandar di atas meja.

"Nanti, lebaran semut!" balas gadis itu, jengkel mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan padahal sebelumnya sudah diberitahukan, perlukah mengulang kembali? Untuk meyakinkan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

"Eh, gue izin pulang sebentar ya, soalnya paket gue udah nyampe," ujar Wafha, gadis itu segera menunjukan aplikasi belanja online kepada orang yang menyuruh untuk kumpulan. "Asli nggak bohong, minggu kemarin gue beli tas, sekarang baru sampainya."

Melihat dia menatap Wafha seperti menyelidiki seorang pencuri uang infak di kelas, menyebabkan Wafha melayangkan kata-kata untuk meminta persetujuan, dan jikalau melanggar, mau tidak mau menerima konsekuensinya. "Gue janji bakalan ke sini lagi ...."

Sebelum melanjutkan perkataan, telepon pada genggaman tangan kanan Wafha berbunyi, bisa dibilang tukang paket menelepon karena tertera nama dan foto profilnya, 'Mas Paket ganteng.'

Wafha tersenyum kikuk. "Tuh, baru juga diomongin ...," gumam Wafha, segera mengangkat telepon, dan pergi dari kelas dengan membawa tas miliknya.

Gadis itu menghela napas panjang seraya menggelengkan kepala. Saat berbalik untuk mengingatkan kawan-kawannya yang masih ada di dalam kelas. Di dalam ruangan ini seketika kosong, tidak ada satu orangpun, mengingat teman-temannya yang sulit diatur, banyak akal, dan pandai mengambil kesempatan. "Bisa-bisanya gue kecolongan."

Ia merogoh ponsel di dalam kantung baju putih, mengetik kata-kata pengaduan kepada seseorang yang memiliki wewenang untuk memberikan hukuman kepada mereka agar jera terhadap peraturan.

Di lain tempat, lain situasi, pada saat teman-temannya diancam akan mendapatkan hukuman, dua perempuan duduk bersantai di teras masjid sekolah sambil mengobrol ringan setelah melaksanakan kewajiban—solat ashar.

"Eh, besok gimana, Mi?"

"Gimana apanya?"

"Besok kan giliran kelompok kita buat presentasi."

"Ya, gak gimana-gimana, toh cuma ngomong di depan, tanya jawab, selesai. Apa lagi sih?"

"Ih, bukan itu! Kelompok kita belum bikin peta konsep, kan katanya mau ngerjain kemarin, terus kamu gak bisa gara-gara kemarin ekskul Jurnalis, sekarang—"

"Eh, iya! Astagfirullah, gue lupa!" Gadis itu menghela napas pasrah. Selang beberapa detik temannya itu terburu-buru memakai sepatu, ia pun segera berdiri lantaran hanya memakai sendal.

"Mau bikin sekarang, Mi?"

"Sorry, gue lupa hari ini harus kumpulan ke ruang Jurlis."

"Lah, terus ini, gimana?" Ia bertanya dengan mulut sedikit ternganga menyaksikan kepergian teman kelasnya itu. "Miya!" teriak sang teman, lantaran pertanyaannya terabaikan begitu saja.

"Haduh, bisa-bisa nanti diomelin bu Desta!" monolognya, khawatir. Membayangkan betapa murka sang guru lantaran tugas kelompok yang diberi waktu satu minggu untuk menyelesaikannya, akan tetapi pada hari H presentasi, tidak ada persiapan sama sekali.

***

"Gimana? Kalian setuju gak kalo—"

"Assalamu'alaikum!"

Tiga gadis yang berada di dalam ruang jurnalistik memusatkan perhatian mereka pada seseorang yang menutup pintu secara kasar hingga menimbulkan suara keras disertai getaran.

"Bisa-bisa ini ruang jurlis roboh gara-gara kamu, Miya!" celetuk Wafha.

Miya tertawa pelan, bergabung bersama mereka yang duduk di atas lantai membentuk lingkaran. "Lagi ngebahas apa nih?"

"Ngebahas masa depan gue bareng NCT," jawab Wafha tersenyum sambil memandang langit-langit ruangan, berharap angan-angan menjadi kenyataan yang dapat menembus langit ketujuh.

Miya berdesah. "Dih, ibarat NCT tuh langit, sedangkan lo di bawah tanah, gak akan mungkin lo bisa, boro-boro nikah sama salah satu dari mereka, ketemu aja kagak, taunya cuma lewat foto doang," ledek Miya diakhiri dengan tawa meremehkan.

Dan Wafha hanya menanggapi dengan menjulurkan bibir bawah ke depan seakan-akan meniru gaya bicara Miya.

Terdengar pintu berdecit bersamaan dengan kemunculan seseorang yang selalu membuat Miya muak menatapnya. Pun saat gadis itu menyebut nama Miya, sang pemilik nama hanya melirik sekilas dan kembali fokus melihat ponsel. "Ke mana aja, lo?" tanya Lidia.

"Mau tau aja, atau mau tau banget ....?"

Lidia berdecak kesal dengan kedua tangan terlipat dan punggung menyandar kosen pintu. "Sana gih ke TU—"

"Apa-apaan lu nyuruh gue?" tanya Miya memotong perkataan dari Lidia dengan nada meninggi.

"—di suruh a Apev!"

Miya segera berdiri, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan ini, dirinya melampiaskan kekesalan  dengan cara menyenggol pundak Lidia sampai gadis itu terhuyung ke belakang, sambil mengumpat.

Diam sejenak, keduanya saling menatap dengan tatapan permusuhan. "Sorry, gue gak sengaja. Salah sendiri elu diem di situ."

Saat Miya pergi, Lidia pun menyusul dari belakang, dan bisa dipastikan ke ruang ini hanya karena disuruh oleh sang pembina ekstrakurikuler jurnalistik.

Setelah situasi aman, salah seorang di dalam ruangan bertanya kepada Wafha perihal Miya dan Lidia. "Fa, mereka lagi musuhan?"

Orang yang diberi pertanyaan sepertinya tidak mendengar dengan baik lantaran fokus membaca katalog barang incarannya yang sedang diskon di online shop. "Siapa?" Wafha melirik temannya itu, sampai pertanyaan yang diberikan dapat dicerna dengan baik. "Oh, maksudnya Miya sama Lidia?" Dia mengangguk.

"Mereka emang kayak gitu dari awal masuk kelas, kadang ribut, kadang akur, kadang juga saling mendiamkan."

Dia mengangguk, lagi. "Tapi kok, aku lihat mereka dari tiga minggu sebelumnya, mereka kayak musuhan mulu, apa beneran gak ada masalah yang serius?"

"Ya, nggak tau sih, gue gak punya hak buat ikut campur permasalahan mereka. Lagian ngapain sih, lo kepo banget?"

"Bukan kepo, tapi aku tuh peduli ...."

"Halah, modus kepo masalah orang jalur rasa peduli."

"Udah, ah, ngegibahnya. Ini teh gimana kita kan sekarang disuruh a Apev buat nentuin judul series yang mau dibuat, termasuk juga penokohan alur cerita."

"Hah? Lah, bukannya penokohan sama tetek bengeknya bakalan dirundingkan nanti sama yang lain, pas ini udah selesai?" tanya Wafha kepada gadis yang melerai obrolan mengenai Miya dan Lidia.

Gadis itu tersenyum kikuk, tidak tahu harus merespon apa lagi, karena kenyataannya saat membahas soal project pembuatan series, dirinya hanya menyimak di awal pembahasan seterusnya ia tidak ada di tempat sebab harus mengangkat telepon dari seseorang.

"Tapi emangnya kalo nanti dibahas bareng sama yang lain, mereka pada mau kumpulan gitu? Tadi aja yang kumpulan cuma aku, Zahra sama Lidia."

Bruk!

Tiga gadis yang tengah berunding itu tersentak mendengar suara pintu di banting. Mereka hanya mengelus dada, sudah terbiasa dengan perangai salah satu kawannya yang mudah sekali terpancing emosi. Tapi, yang menjadi sorotan dan membuat mereka keheranan adalah gadis itu—

"Savia lo kenapa?" tanya Wafha, menghampirinya, disusul oleh kedua temannya.

Menangis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JURNALISTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang