14. DI AMBANG BAHAYA

84 3 0
                                    

Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!

Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!

Kejadian dengan Rifki membuat seluruh sekolah dalam kekacauan. Seolah-olah, semua siswa kini dilanda ketakutan yang tak terlihat. Setiap bisikan di lorong, setiap tatapan curiga antar siswa, dan kehadiran yang tak terucapkan mulai terasa di setiap sudut sekolah.

Alya, Dika, dan Maya tak bisa berhenti memikirkan apa yang telah mereka saksikan. Rifki bukan hanya korban dari penyakit misterius, tetapi sesuatu yang lebih gelap sedang bermain di balik semua ini. Ancaman yang tak terlihat mulai mengintai kehidupan mereka, membuat segalanya semakin tidak bisa diprediksi.

Di dalam kelas, Alya duduk dengan gelisah. Dia menatap buku catatan di depannya, tetapi pikirannya jauh dari sana. Setiap detik terasa seperti beban. Dia masih teringat akan pesan anonim yang diterimanya malam itu.

"Kamu terlalu dekat dengan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi. Berhenti sekarang, sebelum semuanya terlambat."

Maya, yang duduk di sebelahnya, menyenggol bahunya pelan. "Alya, kamu sudah dengar berita terbaru?" bisiknya, menatap sekeliling dengan khawatir.

Alya menoleh, meski hatinya sudah dipenuhi firasat buruk. "Berita apa lagi?" tanyanya dengan cemas.

Maya menatapnya dengan serius. "Ada beberapa siswa lagi yang dilaporkan sakit pagi ini. Semua menunjukkan gejala yang mirip dengan Rifki. Mereka demam tinggi, berhalusinasi, dan beberapa bahkan pingsan di tempat."

Pikiran Alya berputar cepat. "Itu tidak mungkin hanya penyakit biasa. Apa pun ini, semakin banyak korban."

Dika bergabung dalam percakapan, wajahnya terlihat tegang. "Aku yakin ini ada hubungannya dengan eksperimen rahasia yang sedang kita selidiki. Mereka mungkin mencoba menutupi semua ini dengan mengaburkan kenyataan di balik wabah ini."

Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kita harus bertindak lebih cepat sebelum semuanya semakin kacau. Kalau kita tidak menemukan kebenarannya, mereka yang sakit akan bertambah banyak, dan mungkin kita tidak akan bisa menghentikannya."

Sore itu, ketiganya berkumpul di sebuah ruangan kecil yang tersembunyi di sekolah. Mereka mengumpulkan semua petunjuk yang telah mereka temukan sejauh ini. Beberapa catatan penting yang Dika ambil dari perpustakaan, informasi rahasia tentang fasilitas penelitian di kota, dan berbagai teori tentang eksperimen biologi yang mungkin sedang dilakukan.

"Kita harus kembali ke tempat kejadian," kata Dika, menunjukkan lokasi yang sudah mereka tandai di peta sekolah. "Ada satu ruangan di bagian bawah gedung tua sekolah yang belum kita periksa. Mungkin di sana ada lebih banyak petunjuk."

Maya mengangguk pelan, meski terlihat ragu. "Tapi bagaimana kalau kita tertangkap? Tempat itu selalu dijaga ketat."

Alya menatap kedua temannya, mengambil keputusan besar di dalam hatinya. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita sudah terlalu dalam. Kita harus tahu apa yang mereka sembunyikan di tempat itu."

Dika dan Maya saling pandang, kemudian mengangguk setuju. Mereka tahu risikonya, tetapi mereka juga tahu bahwa tidak ada jalan kembali.

Malam itu, mereka bertiga kembali ke sekolah, menyelinap masuk saat gedung sudah sepi. Sekolah yang biasanya dipenuhi siswa kini terasa mencekam dalam kesunyian. Setiap langkah mereka menggema di sepanjang koridor gelap yang hanya diterangi oleh lampu-lampu redup.

Mereka akhirnya tiba di gedung tua sekolah, bagian yang hampir tidak pernah digunakan lagi. Suasana di sana jauh lebih menyeramkan, dengan dinding-dinding yang usang dan jendela-jendela yang berdebu. Sekolah seolah berubah menjadi tempat yang sama sekali berbeda di malam hari.

"Di sini," bisik Dika, menunjukkan pintu kecil yang setengah tertutup. "Tempat ini harusnya terkunci, tapi sepertinya ada yang masuk sebelum kita."

Alya menelan ludah, merasa dadanya berdebar. Mereka bertiga mengintip ke dalam, dan melihat tangga spiral yang menurun ke bawah tanah. Cahaya redup dari obor mereka menerangi jalan setapak yang sempit dan berkelok. Tempat itu sepertinya jauh lebih besar daripada yang mereka duga.

Dengan hati-hati, mereka melangkah ke bawah, napas mereka semakin berat saat suasana semakin dingin. Tangga itu berakhir di sebuah lorong panjang dengan pintu-pintu yang berjajar di sepanjang dinding. Lorong tersebut seolah membawa mereka ke dunia lain, jauh dari realitas di atas permukaan.

"Ini seperti bunker rahasia," bisik Maya dengan cemas.

"Tempat ini lebih menyeramkan dari yang aku bayangkan," tambah Alya, suaranya hampir tak terdengar.

Ketika mereka semakin dalam ke lorong, mereka mendengar suara-suara samar. Langkah kaki yang bergema, bisikan yang tak jelas asalnya. Mereka berhenti sejenak, mendengarkan.

"Ada orang di sini," kata Dika pelan. "Kita harus berhati-hati."

Namun, ketika mereka melangkah lebih dekat ke salah satu pintu, suara keras tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. Maya terlonjak, menahan teriakan. Alya dengan cepat menariknya mundur, jantung mereka berdegup kencang.

Pintu di belakang mereka terbuka sedikit, dan seseorang melangkah keluar. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi Alya bisa merasakan tatapannya yang tajam, seolah-olah dia tahu mereka ada di sana.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" suara serak pria itu terdengar tajam, membuat bulu kuduk Alya berdiri.

Mereka bertiga membeku di tempat, tak tahu harus berbuat apa. Namun, saat pria itu semakin mendekat, Alya merasa sesuatu yang aneh merayapi tubuhnya. Seperti rasa dingin yang menembus tulang, menandakan bahwa mereka berada di ambang bahaya yang lebih besar dari yang mereka duga.


To Be Continued...

THE SILENT PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang