Seorang gadis berjalan cepat di koridor, melewati setiap kelas juga tatapan bingung dari orang-orang sekitar. Di dalam genggamannya itu terdapat sebuah kamera dan mungkin itulah yang menyebabkan orang-orang melirik ke arahnya.
Setibanya di dalam ruangan, gadis itu membuka pintu dengan kasar.
"Siapa yang udah ngerusak kamera gue!" bentaknya, amat murka.
Dua orang yang berada di dalam ruangan itu tampak kebingungan atau mungkin terkejut. Hingga salah satunya angkat bicara.
"Apa-apaan sih, Cahaya, bukannya ketuk pintu dulu, ucapin salam, tiba-tiba datang ke sini marah-marah, sampai banting pintu."
Cahaya merengek. Kamera kesayangan yang dirawat sepenuh hati, hasil jerih payah menabung selama bertahun-tahun, belum seminggu benda itu telah dirusak, bahkan ditaruh disembarang tempat.
"Gimana Pin, gimana caranya gue liputan, kalo kamera gue aja rusak kayak gini!"
"Kok, bisa?" tanya Pipin keheranan, tangannya menerima kamera itu, menelusuri bagian yang mengalami kerusakan. "Kamu taruh di mana?" Pipin melirik Cahaya yang kini duduk di sampingnya.
Dengan muka masam menahan rasa kesal, Cahaya menjawab, "gak tahu. Hari Sabtu tuh, ada yang pinjem, entah si Fatima atau Lidya, terus nggak dibalikin ke gue, katanya disimpan di ruang Jurnalistik karena gak sempet nyamperin gue di kantin gara-gara udah dijemput."
"Waktu itu gue cari-cari di ruang Jurnalistik kameranya gak ada, eh malah ketemunya di mana coba?" tanya Cahaya, memancing Pipin untuk menyimak kelanjutan ceritanya.
"Di kelas?" tebak Pipin ragu-ragu.
Cahaya menggeleng. "Bukan!" tolak Cahaya, saking kesalnya suara gadis itu terdengar seperti orang membentak. "Ketemunya di masjid. Baru aja, pas gue nyari dibantuin sama si Savia. Gimana coba, kaca kameranya pecah, terus juga nggak hidup."
Pipin mengembalikan kamera kepada sang pemiliknya. "Kamu yakin yang pakai cuma si Fatima atau ... Lidya? Siapa tau setelahnya ada yang pinjam lagi, cuma kamu lupa."
"Gue udah tanya ke mereka, tapi jawabannya malah gak tau, gimana gue gak kesel coba?"
"Cahaya, Pipin, sebaiknya kita segera ke lapangan, sebentar lagi kan upacara mau di mulai," nasihat seorang gadis yang memberikan dua rompi kepada mereka.
"Kepada seluruh siswa siswi MAN 4 diharapkan untuk segera ke lapangan ...."
Cahaya berdecak kesal, bagaimana mungkin tidak kesal? Pagi buta sudah mendapat kabar tidak mengenakan, benda kesayangannya dirusak oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, dan sekarang mereka mau tidak mau harus segera bersiap ke lapangan untuk mendokumentasikan kegiatan hingga upacara selesai.
Pipin tersenyum ramah, menerima rompi pemberian kawannya itu. "Terima kasih, Zahra."
"Sama-sama."
Zahra kembali mengajak mereka berdua untuk segera keluar dari ruangan. "Ayo, teman-teman."
Di belakang Zahra, Cahaya terus mengomel kepada Pipin. "Gimana Pin, gue liputan pakai apa? Hp gue nggak support. Asli deh, mereka bener-bener gak bertanggungjawab, udah pinjam, nggak disimpan pada tempatnya, dan sekarang? Gak ada yang mau ngaku! Awas aja kalo sampai kameranya bener, gue gak akan kasih pinjam lagi!"
"Coba kamu pinjem dulu HP si Miya."
Cahaya mendelik. "Lo kayak gak tau si Miya aja, Pin! Dia datang ke sekolah sering telat! Kalo semisal gue pinjem hp dia, orangnya sok seleb!"
Pipin hanya menganggukkan kepala, tanpa diduga-duga orang yang baru saja disebut-sebut muncul dihadapan mereka. "Eh, Miya, aku mau pinjem hp kamu dong, buat dokumentasi."
Tanpa berkata apapun, Miya langsung mengambil benda itu dari kantung rok abu-abu, dan memberikannya kepada Pipin. "Nih, kalo udah selesai, jangan lupa dihapus." Setelah itu Miya pergi dan masuk barisan dari kelasnya.
Pipin tersenyum, menaik-turunkan alisnya. "Tuh, lihat tadi. Miya baik kok, langsung ngasih, nggak seperti apa yang kamu bilang tadi."
Cahaya mengalihkan atensinya dari Pipin. "Cuma kebetulan, aslinya tetep sombong."
Pipin menghela napas, memegang tangan kanan Cahaya lalu memberikan ponsel milik Miya kepada gadis itu. "Jadi orang jangan buruk sangka mulu, Ca. Nggak baik."
Pipin menjauh dari Cahaya, mengambil posisi berdiri di barisan belakang kelas 10, dekat dengan orang yang nantinya membaca teks UUD dan teks janji siswa, sedangkan Cahaya berada di belakang barisan kelas 11, nantinya saat upacara dimulai, bendera dikibarkan, dan kepala sekolah mengumandangkan amanat dan nasihat, ia maju ke depan barisan demi mengambil angle yang bagus.
Setelah upacara selesai, siswa berhamburan; memasuki kelas, berkunjung ke kantin untuk makan dan jajan, atau bahkan ada yang memilih berkumpul di teras masjid, sebelum memasuki kelas.
Seperti halnya dilakukan oleh empat sekawan yang memilih mengobrol santai di kantin padahal bel masuk sudah berbunyi.
"Weh, gue kan kemarin beli paket skincare, abis seratus ribu lebih, nah itu tuh ...."
"Paket lagi?" tanya Pipin memotong perkataan temannya. "Mending uangnya dipakai buat hal yang lebih bermanfaat, kayak beli buku. Kamu kan LKS bukannya belum beli, Fa? Kenapa kalo soal beli barang make up tuh, kamu paling gercep? Yang penting-penting aja gak sih, kita kan baru kelas sepuluh, harusnya—"
"Oh, jelas dong! Gue gak mau ketinggalan zaman, lagian skincare-ku sebelumnya itu abis, baru sekarang-sekarang bisa beli, ditambah bedak, eye shadow sama lipstik punyaku tuh udah pada abis, gue kan harus selalu update soal konten make up."
"Tapi kasihan muka kamu," gumam Pipin, tak satupun mendengar lantaran suaranya yang kecil, kalah dengan kebisingan kantin.
"Ekhm."
Perlahan mereka berempat menoleh ke belakang Pipin dan Ipeh. "Apakah kalian tidak mendengar bel masuk sudah berbunyi?" tanya gadis itu tersenyum paksa ke arah Pipin.
"Denger," celetuk Ipeh setelah menghabiskan dua gorengan milik Pipin yang masih tersisa.
"Lalu kenapa masih berada di sini?"
"Lo nggak lihat gue lagi ngapain?" Ipeh balik bertanya sambil menunjuk mulutnya yang sedang mengunyah. Hingga Pipin baru menyadari bahwa makanan miliknya sudah habis sebelum dirinya sendiri yang menghabiskannya.
"Ipeh, kok, punyaku kamu makan, sih!" gerutu Pipin, menepuk pundak gadis itu.
"Abisnya lo, kelamaan ...."
"Ekhm. Cepat kembali ke kelas, di sana sudah ada guru, jangan sampai kalian membolos!"
Lidia berdiri, melampiaskan kekesalannya dengan cara memukul meja dengan keras, sebelum pergi bersama antek-anteknya.
Lidia amat tidak menyukai gadis itu, karena selalu saja mengatur-atur ini dan itu, merazia barang kesayangannya hingga ada beberapa barang yang tidak dikembalikan dengan dalih, barangnya di buang karena dirinya telah melanggar peraturan sekolah.
Gadis itu tersenyum, puas sekali melihat kawan-kawannya kesal. Akan tetapi dirinya baru menyadari bahwa mereka pergi tidak lengkap, alias hanya bertiga. Ia mengalihkan pandangan dari tiga oran yang melenggang pergi dari kantin.
"Ipeh ...," tegurnya, tidak habis pikir. Saat teman-temannya pergi, Ipeh justru mengambil kesempatan dengan cara memakan semua jajanan milik Lidia, Pipin dan satu temannya yang tertinggal di kantin.
"Bewntar! Gwe lapwer," ucap Ipeh di sela-sela acara memakan tiga gorengan bala-bala sekaligus di dalam mulutnya. Tak lama gadis itu menepuk-nepuk dadanya sambil terbatuk-batuk, tangan meraih botol minum miliknya dan meneguk air di dalamnya hingga kandas.
Gadis itu setia menunggu Ipeh, sesekali terbatuk kecil saat melirik jam pada pergelangan tangannya. "Hitungan dari 30 detik, jikalau tidak segera ke kelas, maka saya akan mengatakan kepada guru, bahwa kamu mem-bo-los."
KAMU SEDANG MEMBACA
JURNALISTIK
Teen FictionMenjadi anak jurnalistik tidak hanya tampil di depan layar ataupun dibalik layar, dan mendokumentasikan kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Melainkan bakat dan minat mereka dalam mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik ini tentunya perlu dias...