Edinburgh
Edinburgh menyambut Aurora Elvina dengan pelukan dingin khas musim gugur. Kabut tipis menyelimuti jalanan berbatu, dan dedaunan yang berguguran menciptakan karpet merah-oranye di sepanjang Royal Mile. Kota ini adalah impian lama Aurora—tempat yang ia pilih bukan hanya sebagai destinasi akademis tetapi juga sebagai tempat untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalunya.
Aurora menarik napas dalam-dalam saat berdiri di depan pintu masuk universitas barunya. Bangunan tua dengan arsitektur gotik itu terasa megah, hampir menakutkan, seperti kastil dalam dongeng. Di balik rasa canggung itu, ada sedikit getaran antusiasme. Ini adalah kesempatan baru, sebuah awal yang ia butuhkan setelah bertahun-tahun terkurung dalam kenangan yang tak kunjung usai.
Saat Aurora melangkah ke dalam aula besar universitas, ia segera disambut oleh keramaian mahasiswa yang baru tiba—semuanya tampak canggung namun bersemangat. Suara percakapan berbaur dengan tawa, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya udara luar. Aurora berusaha menenangkan dirinya, meskipun perasaan asing dan sedikit tersesat masih menggelayut di pikirannya.
Pandangan Aurora berkeliling aula, mencoba menemukan arah. Namun, matanya tertarik pada sosok seorang pria yang berdiri di dekat meja informasi. Tinggi, dengan postur tegap dan rambut coklat yang tertata rapi, pria itu memancarkan aura wibawa yang sulit diabaikan. Dengan mata se biru lautan yang menenangkan dan senyum yang lembut, pria itu seolah-olah berasal dari dunia lain, dunia yang biasanya hanya Aurora temui dalam Webtoon yang sering ia baca.
Aurora terdiam sesaat, merasa terpana seperti melihat karakter fiksi favoritnya hidup di dunia nyata. Namun, sebelum ia sempat merenung lebih jauh, pria itu menoleh dan melihatnya. Ia melangkah mendekati Aurora dengan langkah yang tenang, membawa serta hawa hangat di tengah dinginnya aula.
"Hi, are you lost?" sapanya dengan suara lembut namun jelas, cukup untuk menembus hiruk-pikuk di sekitar mereka.
Aurora sedikit terkejut mendengar suaranya, namun segera menyadari bahwa pria itu hanya mencoba membantunya. "Ya, saya baru tiba dan sedikit bingung dengan tempat ini," jawabnya canggung, berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul. "Nama saya Aurora—Aurora Elvina."
Pria itu tersenyum, mengulurkan tangan. "Maximillian Hugo Ravenscroft. Selamat datang di Edinburgh, Aurora. Ini tempat yang indah, meski terkadang bisa terasa agak sepi jika belum terbiasa."
Aurora menerima uluran tangannya, merasakan sentuhan hangat yang menenangkan. Dalam percakapan singkat mereka, Aurora mendapati dirinya merasa nyaman di dekat Maximillian. Meskipun baru pertama kali bertemu, ada sesuatu dalam cara Maximillian berbicara yang membuatnya merasa bisa mempercayainya. Dia tidak merasa perlu waspada atau gugup, seperti yang biasa ia rasakan ketika bertemu orang baru.
Mereka berbincang sebentar, bertukar cerita singkat tentang asal usul mereka dan alasan masing-masing memilih Edinburgh sebagai tempat studi. Setiap kata yang diucapkan Maximillian terasa hangat dan menenangkan, membuat Aurora semakin penasaran dengan pria ini. Namun, sebelum pertemuan mereka bisa berlanjut lebih jauh, Aurora menyadari bahwa ia harus segera menuju ke kelas pertamanya.
"Saya harus pergi sekarang, tapi mungkin kita bisa bertemu lagi?" tanya Aurora dengan senyum tipis, sedikit berharap namun berusaha tampak biasa saja.
"Tentu," jawab Maximillian dengan senyum yang sama hangatnya. "Semoga hari pertamamu menyenangkan, Aurora."
Aurora mengangguk, lalu melangkah pergi menuju kelasnya, meninggalkan Maximillian yang masih berdiri dengan senyum di wajahnya. Selama perjalanan menuju ruang kelas, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Maximillian. Ada sesuatu yang berbeda dari pertemuan ini, sesuatu yang membuat Aurora merasa lebih tenang dan bersemangat di hari pertamanya di Edinburgh.
✨✨✨
Jakarta
Jakarta terbungkus dalam kesibukan yang tiada henti ketika Zaynandra duduk di balik mejanya, menatap layar komputernya dengan fokus yang tak tergoyahkan. Di sekelilingnya, kantor pusat perusahaannya bergema dengan suara telepon yang berdering, langkah-langkah cepat, dan percakapan yang berbaur. Namun, di tengah riuh rendah itu, pikirannya kerap melayang, jauh melampaui dinding-dinding kantornya.Alex, tangan kanan Zaynandra yang setia, mendekati meja tuannya dengan wajah serius namun profesional. "Tuan, siang ini kita harus berangkat ke Singapura untuk menghadiri makan malam bisnis untuk kesepatkatan kerja sama," kata Alex, suaranya tenang dan penuh kendali. "Kemudian lusa, kita harus berada di London untuk rapat tahunan di kantor cabang."
Perkataan Alex menggema dalam benak Zaynandra, namun pikirannya seketika menjauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Sekilas, ia terhanyut dalam kenangan akan Aurora—wanita yang pernah menjadi pusat dunianya, pilar yang menopang setiap langkahnya. Tiga tahun telah berlalu sejak Aurora menghilang, namun bayangannya tetap menghantui Zaynandra, menyelimuti hatinya dengan kerinduan yang tak berkesudahan.
"London, ya?" Zaynandra mengulangi kata itu pelan, seolah mencoba merasakan setiap hurufnya. "Baiklah, siapkan segala keperluannya."
London—kota itu memiliki makna yang mendalam baginya, lebih dari sekadar tujuan bisnis. London adalah gerbang menuju kenangan akan Edinburgh, kota impian Aurora. Di sanalah, di sudut-sudut jalan berbatu dan di bawah langit kelabu Skotlandia, impian Aurora pernah hidup. Dan kini, setiap kali nama kota itu terucap, hati Zaynandra terasa perih, seolah menyentuh luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Namun, dengan disiplin yang telah menjadi bagian dari dirinya, Zaynandra menepis lamunan itu dan kembali berkutat dengan pekerjaannya. Ada banyak hal yang harus diselesaikan sebelum ia meninggalkan Jakarta untuk perjalanan panjang ini. Tapi di sela-sela kesibukannya, perasaan tak menentu itu tetap bertahan—mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang pernah begitu berharga, dan entah kapan bisa kembali.
Dengan persiapan yang matang, Zaynandra siap untuk menjalani perjalanan bisnis tersebut. Namun, di balik keteguhan sikapnya, ada kerinduan yang tak bisa ia abaikan—kerinduan akan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang, yang selalu mengikutinya, tak peduli sejauh mana ia melangkah.
![](https://img.wattpad.com/cover/375883630-288-k254754.jpg)
YOU ARE READING
SEASON IN EDINBURGH
RomancePROLOG Di bawah langit kelabu Edinburgh, Aurora berdiri di tengah keramaian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Angin dingin Skotlandia menerpa wajahnya, membawa serta kenangan yang berusaha ia lupakan. Di kota ini, Aurora...