"Gue punya hak, 'kan? Sekarang coba bilang siapa yang ngutuk siapa?"
"Apa hak itu berarti memberikanmu kebebasan berbicara untuk menghina dan merendahkan orang lain?" Adalah pertanyaan Saemi. Kelenjar air matanya bekerja dua kali lipat lebih cepat, sehingga menghasilkan sebuah arus kolam yang siap menerobos bendungan matanya.
Tidak ada yang tahu sesakit apa perasaan Saemi saat Sunghoon mengatakan hal-hal yang buruk tentang dirinya. Selama ini, Saemi sudah salah menilai bahwa laki-laki itu berbeda dengan yang lain, bahwa Sunghoon adalah sosok laki-laki baik yang akan menjadi sandaran baginya meski mereka tak punya sebuah hubungan yang spesial. Ia akan menarik semua praduganya pada waktu itu.
Napas Saemi yang bergetar masuk ke pendengaran Sunghoon bersama air mata yang sejak tadi mengancam ingin keluar.
"Selama beberapa minggu terakhir aku berusaha menahan diri tidak menemuimu. Dan sekarang, dengan sisa-sisa keberanian itu aku datang untuk memberikan kabar ini. Bukannya memberi solusi kenapa kamu justru merasa sangat kesal?"
Saemi sama sekali tak mau membuang tatapan kepada laki-laki di hadapannya yang sepertinya sangat sulit mengendalikan emosi. Angin yang berembus kencang membuat rambut pirang Sunghoon yang hampir panjang bergerak ke bawah saat ia mulai membalas tatapan Saemi.
Meski tangannya luar biasa gemetar, Saemi tetap mencoba untuk memberikan isyarat dan mengutarakan semua hal yang tak bisa langsung ia lisankan.
"Apa menghamiliku adalah hal yang sangat memalukan untukmu?" Pertanyaan itu membuat Sunghoon lagi-lagi bungkam. "Kamu tidak buta untuk menyadari aku cacat sejak awal, lalu atas dasar apa dan dorongan dari siapa kamu meniduriku?!"
"Jawab aku, berengsek! Seharusnya saat aku berkata kalau aku hamil, itu adalah salah satu bagian dari risiko yang harus kamu ambil!"
Sunghoon kehilangan jawaban untuk pertanyaan Saemi, karena dia sendiri pun benar-benar tak tahu apa yang sudah ia perbuat. Nafsu dan obsesi saja seolah mampu mendustai perasaannya. Sunghoon mengerang frustasi dengan kepalan tangannya yang kuat seolah mampu melubangi buku-buku jari.
“Argh! Bangsat!”
Belakangan ini ada begitu banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya, itu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi lonjakan pada emosinya.
Sunghoon menjambak kasar rambutnya. Wajahnya merah padam menahan sesuatu yang bergejolak, seolah ingin meledak. "Lo sama gue bahkan masih semester lima! Gue cuma kerja paruh waktu, tapi dengan cerobohnya lo malah hamil!"
Atmosfer di taman belakang gedung fakultas berubah menjadi tegang, seperti sebuah kawat duri yang direntangkan, siap putus dan melukai mereka berdua.
Cukup lama suasana yang menegangkan itu menggantung, sampai pada akhirnya Sunghoon memilih untuk tidak berpikir rasional.
"Gue gak bisa, Saemi." Ia menggeleng ribut. "Gue gak bisa tanggung jawab apalagi harus ngerawat anak itu nanti. Gue masih mau kuliah dan hidup dengan tenang."
Air mata Saemi mengalir tanpa kira-kira mendengar telak penolakan Sunghoon. Sebuah bom seperti diledakkan di tempat itu, sehingga membuat Saemi hancur berkeping-keping. Kepalanya pusing sejak pagi, dan gejolak aneh yang kembali menggelegak di dalam perutnya membuat Saemi merasa mual.
"Bajingan. Pengecut! Kamu hanya memikirkan kepentinganmu sendiri. Lalu bagaimana denganku setelah ini? Bagaimana dengan nasib kuliahku!"
"Lo masih bisa kuliah sekalipun dalam keadaan hamil. Sedangkan gue? Gue anak beasiswa. Lo tahu dalam persyaratan itu gue gak bisa semena-mena selama masa perkuliahan. Lo bisa pura-pura gak hamil dan ga bakal ada yang ngira kalau lo hamil anak gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
[psh] Our Blues
FanfictionHarusnya selama ini Saemi menyadari, tidak ada yang bisa dia janjikan untuk kehidupannya sendiri. Sebanyak dan sekeras apapun dia berusaha hanya akan sia-sia. Kecacatannya tak akan pernah luput diungkit ke atas permukaan sebagai bahan hinaan. "Aku...