Chapter IV

12 7 0
                                    

































































Chapter IV: Under The Umbrella

Ada banyak orang yang sibuk melarikan diri untuk berteduh di bawah atap yang melindungi tanah yang ada di halte ini. Jikalau terdorong, mampuslah mereka-mereka jadi basah kuyup. Aku cuma berusaha memeluk tasku dan terus menyipit sebab takut cipratan air yang tercipta dari langit bakal masuk ke mataku.

Hari baru, kesialan baru. Rambutku jadi lepek walau tadi sempat kututupi pakai tasku, bibirku bergetar bukan main sebab dingin yang mulai melangsak masuk merasuki rusukku, pun dengan ujung jariku yang perlahan mengerut akibat hujan yang kupegangi.

Berulang kali mobil melintas di depan kami, aku hanya memperhatikan ujung sepatuku yang kotor akibat menerima percikan air pada genangan itu. Hela napas pun lolos dari mulutku seiring jatuhnya tangis alam menghujam tanah. Aku suka hujan, tapi tidak untuk situasi macam ini. Lebih baik jika aku berada di dalam rumah, maka aku bisa menikmati hujan dengan tenang.

Dari sini, kulihat Jinan berlari-lari dengan payung hitamnya. Kakinya membawa badannya datang ke arahku. Ia pun menyengir sedang napasnya tak kunjung mereda, "Hai." Aku cuma mengedipkan mataku berulang kali buat memastikan apakah orang yang ada di bawah payung itu betul-betul Jinan atau bukan. Suaranya tak begitu jelas, namun aku tahu ia menyapaku, "ayo."

Tangannya terulur macam mengharap mendapatkan tapak tanganku di dalamnya. Cengirnya tak pernah pudar sejak awal netra kami bersua sore ini. Aku pun menerimanya dan akhirnya kami berada di payung yang sama. Perlahan, kaki kami melangkah selagi dua bahu ini menempel jadi satu. Aku tak paham apa yang sebetulnya ada di dalam kepalanya, hanya saja—aku membuat pengakuan bahwa akulah yang memukul wajah Jaka tempo hari, maka bukankah seharusnya ia berhati-hati dan menjaga jarak denganku?

"Rumah kamu 'kan nggak ke arah sini."

Ia menoleh. Aku yang memiliki tinggi hanya sebatas bahunya pun memaksanya buat menunduk supaya bisa lihat wajahku. Jinan hanya mendengus singkat masih dengan senyumnya, "Memangnya kenapa? Gue 'kan mau antar lo pulang, bukan mau pulang."

Pipiku menghangat, aku pun mengalihkan wajahku. Kulihat, pundak kanannya diserang mampus oleh hujan sebab payungnya terlalu condong ke arahku. Aku pun kembali menghela napas dan membetulkan genggamannya pada batang payung ini, "Pegang payung yang betul, Bodoh."

Tawanya pun sampai ke telingaku, lantas aku pun menoleh dan mendapati cengirannya yang indah betul itu. Sungguh, dilihat dari jarak sedekat ini cukup membuat jantungku berdebar. Jinan, sangatlah indah. Aku kembali memalingkan wajahku dengan cepat sebelum kacamatanya dapati pipiku yang memerah.

"Pelajaran Bu Daim di kelas kamu kapan, deh?" tanyaku.

Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab tanyaku, "Besok. Tiap hari Jumat. Lo udah dikasih tugas sama beliau, 'kan?" Aku mengangguk singkat, "apa rencana lo?"

Aku menyengir, "Kasih tahu dulu rencana kamu."

"Gue mau lolos SNBP dan keluar dari rumah. Kalau itu nggak berhasil, gue bakal tetap keluar dari rumah dan cari pekerjaan," ujarnya. Sejenak aku berpikir bahwa ia memiliki mimpi yang harus dicapainya, namun di sisi lain ia harus keluar dari kandangnya demi mimpi itu—entah karena terpaksa atau keadaan kandangnya yang memaksa, aku yakin betul itu membuatnya tak nyaman, "kasih tahu gue."

Netraku beralih pada jalanan yang kami pijaki. Ada begitu banyak air yang ditampung jalanan ini—itu membuktikan bahwa apa yang kami pijaki tak begitu mulus dan memiliki banyak potensi buat air hujan singgah, "Aku mau pergi sebelum kelulusan."

SEVEN DAYS: A Manipulator ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang