Ada banyak cara bagaimana takdir mempertemukan dua orang, tapi tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa itu akan terjadi di atas matras biru.
Sebagai mahasiswa kedokteran hewan, hidupku sudah cukup sibuk dengan kelas, laboratorium, dan tanggung jawab akademis. Namun entah mengapa, aku memutuskan untuk bergabung dengan UKM Taekwondo di awal semester ketiga.
Mungkin aku hanya ingin mencari pelarian dari penatnya anatomi dan mikrobiologi. Tak ada ekspektasi besar, hanya rutinitas tambahan yang kurasa akan menyenangkan. Hingga aku bertemu dengannya, seorang pria dari fakultas hukum dengan senyum yang selalu tampak mudah, tapi dengan sorot mata yang menyimpan banyak cerita.
Dia muncul pada latihan kepemimpinan calon taekwondoin baru di minggu itu. Ketika anggota baru diperkenalkan, dia sudah ada di sana, duduk dengan tenang di sudut, mengenakan baju panitia yang sedikit kusut. Saat namaku disebut oleh panitia lain, dia menoleh, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutafsirkan.
Bukan tatapan kagum, bukan juga tatapan merendahkan. Hanya tatapan yang membuatku merasa dilihat untuk pertama kalinya. Dia tersenyum, sebuah senyum kecil yang seakan menyimpan rahasia. Aku hanya mengangguk kaku, merasa tak nyaman karena belum pernah bertemu dengan seseorang yang menatap seperti itu sebelumnya. Namun, itulah awal segalanya. Awal dari kisah yang tak pernah kuperkirakan.
Pertemuan berikutnya terjadi saat kami berada di kegiatan Makrab untuk angkatan taekwondoku. Aku adalah angkatan 32 dan dia yang berasal dari angkatan 31. Walaupun diluar ukm kami berasal dari angkatan yang sama yaitu angkatan 2022, namun dalam taekwondo ini, dia masuk lebih dulu dari pada aku.
Dia bukanlah sosok yang mudah didekati. Meski sering terlihat bercanda dengan teman-teman di UKM, ada jarak yang selalu dia jaga. Namun entah bagaimana, dia selalu berada di dekatku. Entah itu saat latihan, atau saat menghabiskan waktu di sekret.
"Jurusan kedokteran hewan, ya?" tanyanya suatu hari, sambil melihat laporan tangan hang sedang ku kerjakan saat ini
Aku mengangguk, sedikit terkejut dia ingat. "Menarik. Kau pasti sering berurusan dengan hewan-hewan lucu," lanjutnya dengan senyum yang membuatku lupa bagaimana harus merespons.
Percakapan kami sering kali sederhana, namun penuh dengan makna yang tak terucapkan. Dia tak banyak bicara tentang dirinya, tapi aku bisa merasakan ada kedalaman yang tak bisa kugali begitu saja.
"Aku suka ikan," ucapnya tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku menoleh, agak bingung dengan pernyataan yang tiba-tiba itu. "Dulu, aku punya banyak ikan di rumah. Aku senang melihat mereka berenang, seperti ada dunia lain yang mereka miliki sendiri," lanjutnya dengan mata yang menerawang jauh. Ada rasa nostalgia di sana, seperti kenangan yang indah namun tak bisa dia kembalikan.
Obrolan kami tentang ikan berlanjut, dan saat itulah aku menyadari bahwa ada sisi lembut dalam dirinya yang tak pernah kutahu sebelumnya. Dia bercerita tentang ikan-ikan kecil yang pernah dia rawat, bagaimana dia menikmati waktu hanya dengan duduk di depan akuarium, mengamati mereka bergerak bebas. Ada kekaguman dalam suaranya yang membuatku tersenyum.
"Kau pasti pandai merawat mereka," komentarku. Dia hanya tertawa kecil, menggeleng. "Tidak selalu. Beberapa mati karena aku tak tahu cara merawatnya dengan benar," jawabnya, nada suaranya sedikit merendah.
Dari situlah aku mulai jatuh, perlahan tapi pasti. Bukan karena perhatiannya yang selalu ada, bukan juga karena senyum hangatnya yang membuat dunia terasa lebih cerah. Tapi karena dia membiarkanku masuk ke dunianya, meski hanya sedikit. Dia yang pertama kali menarikku, dia yang menyapaku lebih dulu. Dia yang memberiku ruang untuk berada di sampingnya, tanpa pernah memintaku pergi. Aku yang dulu menganggap cinta hanyalah gangguan kecil di tengah kesibukan kuliah, kini harus menelan perkataanku sendiri. Aku mulai memikirkan dia lebih sering daripada yang seharusnya, merindukan senyumnya, tatapan matanya yang penuh misteri, bahkan obrolan ringan tentang ikan-ikannya.
Namun, semakin aku tenggelam dalam perasaan ini, semakin aku menyadari bahwa kami berasal dari dunia yang berbeda. Dia dengan kehidupannya di fakultas hukum, debat panas di ruang sidang simulasi, dan ambisi besar untuk menjadi pengacara hebat. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang mahasiswa kedokteran hewan yang lebih nyaman berada di klinik hewan bertemu dengan hewan hewan unik setiap harinya atau berada didalam laboratorium bedah. Aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan tentangku, atau apakah dia merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Tapi satu hal yang pasti: aku telah jatuh cinta lebih dulu. Sebuah perasaan yang kutahu akan sulit untuk kuabaikan.
Dia mungkin tak pernah tahu bagaimana aku menantikan latihan taekwondo setiap minggu hanya untuk melihatnya, atau bagaimana aku mengingat setiap percakapan kecil kami seperti kenangan berharga. Dia mungkin tak sadar bahwa tatapan lembutnya, senyum kecilnya, dan cara dia memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup telah membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya. Tapi aku tak peduli. Bagiku, cinta ini sudah cukup, meski mungkin tak akan pernah terbalas. Karena dalam satu momen singkat di matras biru itu, dia telah memberiku harapan dan itu sudah lebih dari cukup.
Inilah kisahku, kisah tentang seorang wanita yang jatuh cinta lebih dulu pada pria yang memberinya alasan untuk mencintai. Kisah yang dimulai di atas matras taekwondo, di antara keringat dan tawa, di antara harapan dan ketidakpastian. Dan meski aku tak tahu bagaimana akhir dari cerita ini, aku siap menjalani setiap detiknya. Karena cinta, bagiku, adalah tentang merasakan, bukan selalu tentang memiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hukum
RomanceKisah tentang aku yang bertemu dengan hukum, yang menjadikan aku trauma seperti mendapat hukuman serta merindukan seperti siap menerima hukuman apapun untuk tetap berada di sampingnya. *** "Aku suka kakak" Teriak ku Tidak peduli walaupun teman ku...