Bapak

1.1K 154 17
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Halooo, maapkan lamaaaa nggak update ... 😫 Lagi mood swing. Jadi ambyar nggak bisa mikir. Sekarang aku coba ya, pelan². Doain aku juga, supaya sehat² selalu 😁😊.

Klarisa duduk menatap layar laptop sudah lima belas menit. Ruangan itu sunyi senyap. Lampu masih dimatikan. Hanya angin sepoi-sepoi dari luar masuk karena pintu kaca besar dibuka.

Jemarinya memijit pangkah hidung, pegal juga pusing memikirkan strageti apik melawan Gerald.

Bantuan Darka nyatanya kurang mumpuni. Dua hari lalu Klarisa menemui Gerald di hotel tempat pria itu menginap. Niat hati mau membuat Gerald ciut, lelaki licik itu sudah membaca gerak geriknya.

Sial bagi Klarisa, ia tak menemukan celah untuk Gerald mengakui jika ia otak menjebak Hilman.

"Empat hari lagi sidang, Kla ... ayo mikirrr," gumamnya frustasi sampai menjambak rambutnya.

"Kak," suara Ezio terdengar dari arah depan. Ia celingukan karena ruang makan gelap. "Ayah belum miskin, tapi token listri habis gini sampe gelap semua."

Ezio meletakkan bungkusan kebab pesanan Klarisa. Ia sedang pulang sejak dua hari lalu, karena harus diskusi dengan Ijal.

"Kak!" teriak Ezio saat lampu dinyalakan, penampilan Klarisa acak adul, mata kosong menatap ke Ezio, benar-benar seperti zombie.

"Berisik!" kesal Klarisa. Ia membuka bungkusan. Makan dengan cepat masih dengan tatapan kosong juga mendesah lelah.

"Ck ck ck ...," decak Ezio. Ia letakkan tas kuliah hati-hati di sofa, lantas mendekat ke arah Klarisa. "Cendana sabtu besok ambil rapot. Ayah sama Ibu nggak bisa, mau ada arisan keluarga. Gue juga, ada proyek rapihih sistem nilai murid di yayasan sekolah punyanya Bu Letta."

"Terus?" lirik Klarisa sambil mengunyah.

"Anak paud yang paling cantik itu, harus tetap diambil rapot semester awal dan mau nggak mau elo, lah, Kak!" kesal Ezio. Ia menepuk kening Klarisa saking gregetannya. "Lo nggak tau kan, Cendana nangis pulang sekolah kemarin." Ezio membuka kulkas, ia raih minuman kotak rasa buah jeruk.

"Nangis kenapa?" Klarisa menoleh ke belakang.

"Oh, Ayah belum cerita. Kirain udah." Ezio menyedot minuman sedikit lalu kembali duduk. "Lo sibuk banget, jadi nggak sadar sama keadaan Cendana. Nggak apa-apa, sih, jadi gini ... Cendana sedih karena lihat temennya pulang sekolah ada yang dijemput Ayahnya. Terus pas ditanya gurunya, 'Cendana Ayahnya kerja jauh, ya? Kapan pulangnya ketemu Cendana?'. Cendana diam nggak bisa jawab. Gurunya ngerasa bersalah dan cerita ke Ayah kita, dari situ sepanjang jalan dibonceng Ayah pake sepede listrik, Cenda nangis sesenggukan."

Klarisa meletakkan kebab di atas meja. Ia merebut minuman jus jeruk milik Ezio, disedot hingga habis.

"Besok gue ambil rapot! Bawa Ayahnya Cendana!" pelotot Klarisa. Ia berjalan ke kamarnya membawa laptop yang dipeluk erat.

Namun, setelah masuk kamar, barulah ia sadar. Siapa Ayahnya?! Panik melanda. Klarisa berjalan mondar mandir di kamar. Urusan Hilman ia kesampingkan, Cendana lebih utama.

***

"Halo Pak Yusuf," sapa Klarisa saat baru turun dari taksi burung biru. Ia berpakaian rapi seperti mau ke kantor karena memang janjian dengan rekan satu tim akan mengunjungi pengacara senior rekan Hilman yang percaya Hilman tak bersalah.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang