1

3.5K 76 6
                                    

Tiga tahun setelah kepergian ibu, Ayah menikah lagi. Janda–yang jadi ibu tiriku sekarang mempunyai seorang anak perempuan. Umurnya terpaut empat tahun di atasku. Rasanya sedikit aneh tiba-tiba mempunyai kakak tiri seperti ini. Apalagi kakakku perempuan.

Awalnya terasa canggung, tetapi lambat laun aku mulai terbiasa. Setelah satu tahun kami tinggal bersama, suasana canggung itu lenyap begitu saja. Aku merasa bersyukur mempunyai kakak tiri seperti dia.

Ah, aku lupa mengenalkan kakak tiriku. Namanya Kak Shani, tapi aku biasa memanggilnya Cici. Kenapa aku memanggilnya Cici? Karena dia keturunan chinese

Bisa kalian bayangkan 'kan gimana ci Shani? Ia mempunyai kulit putih. Matanya tidak terlalu sipit. Bibirnya tipis. Rambutnya panjang dan lurus. Ci Shani begitu kalem, tetapi di balik itu semua, dia adalah orang paling galak di rumah ini. Bahkan yang katanya ibu tiri itu galak, justru kebalikannya. Ibu tiriku begitu baik padaku. Terkadang ci Shani cemburu dengan perlakuan ibunya padaku.

Lima bulan lalu, Ci Shani lulus kuliah. Ia langsung keterima di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Momen itu bersamaan dengan awal kuliahku. Kebetulan aku diterima di salah satu kampus ternama di Jakarta juga. Karena tak ingin repot dan mengeluarkan biaya lebih, Ayah menyarankan aku untuk tinggal bersama dengan Ci Shani.

"Gak pa-pa. Adek bareng aku aja, Pah. Lagian kampus dia deket sama kantorku," kata ci Shani saat itu. Aku tersenyum lega mendengarnya. Sayangnya senyumku tak bertahan lama setelah ci Shani mengucapkan kalimat selanjutnya.

"Kalo kamu tinggal bareng Cici, kamu harus nurut sama semua peraturan yang Cici buat."

Mati aku.

Ci Shani itu adalah orang paling perfeksionis yang pernah aku temui. Bayangkan, saat kami berdua jalan-jalan ke mall dan ci Shani melihat suatu banner sedikit melipat, ci Shani dengan repot-repotnya mau membetulkan banner itu.

"Cici paling gak suka liat banner gak sesuai kayak gitu," katanya.

Perfeksionis, 'kan? Jauh berbanding terbalik dengan aku yang berantakan. Maka dari itu, ci Shani tak pernah sekalipun masuk ke dalam kamarku. Kalaupun dia masuk, hal yang dia lakukan adalah merapikan kamarku.

Singkat cerita, akhirnya kami berangkat ke Jakarta. Sebenarnya masih ada waktu satu bulan sampai awal masuk kuliah, tapi aku memilih ikut ke Jakarta untuk bersenang-senang di sana.

Setelah mencari sana-sini, akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di kosan elit daerah Jakarta Barat. Sebenarnya aku sedikit tidak setuju karena dengan satu kamar kos bersama ci Shani, artinya aku harus tunduk dengannya. Aku harus terbiasa meletakkan barang pada tempatnya, bersih dan juga teratur. Kalau saja berantakan sedikit, meski itu sprei kasur, bisa-bisa kena omel ci Shani.

Hari pertama tinggal di Jakarta, aku sudah kena omelan ci Shani. Pagi, sekitar jam 5, ci Shani sudah bangun, tapi aku belum. Dia mencoba membangunkanku, tapi karena aku tidur jam 2 pagi, tentunya hal itu tidak mempan. Aku terbangun ketika ci Shani sudah siap berangkat kerja.

"Heh, bangun! Mau jadi apa kamu kalo jam segini belom bangun?" omel ci Shani sembari menggoyang-goyangkan seluruh tubuhku dengan bar-bar.

Mataku terbuka. Apa yang kulihat pertama kali adalah wajah galak ci Shani. Aku mengerjap hingga pandanganku bersih, lalu melirik jam dinding yang bertengger di atas televisi. Masih jam 8 pagi.

"Astaga, Ci. Aku hari ini gak ada kegiatan. Biarin aku bangun siang dikit kenapa sih?"

"Kamu mau rejekimu dipatok ayam?"

"Ayamnya aku makan nanti."

"Heh!" seru ci Shani, lalu menarik selimut yang menggulung tubuhku. Aku bisa mendengar ci Shani mematikan AC. Kalau sudah begini, mau tak mau aku harus bangun.

PensioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang