2

2.3K 54 3
                                    

Masih seperti kemarin, pagi ini aku dibangunkan pagi-pagi sekali oleh Ci Shani. Padahal dia tahu, aku belum ada kegiatan hingga satu bulan kedepan sebelum mengurus keperluan kuliah. Tapi seperti perjanjian awal, jika hidup bersama Ci Shani, aku harus menuruti semua perintahnya.

Setelah Ci Shani berangkat kerja, aku memilih bersantai terlebih dahulu. Saat bosan seperti ini, aku terpikirkan untuk mencari kerja sambilan di dekat kosan. Apa mungkin aku melamar sebagai waitress aja di cafe dekat sini, ya? Mungkin aku harus mendiskusikannya dengan Ci Shani nanti.

Ah, daripada bingung mau ngapain, aku memilih keluar kamar. Kebetulan aku keluar kamar bersamaan dengan perempuan berambut panjang dan pendiam itu. Dia sedang mengunci pintu setelah memakai sepatu. Sebagai warga baru, aku berniat untuk mengenalkan diri dan menyapanya.

"Pagi, Kak." Aku mendekat dengan senyum seramah mungkin yang bisa kubuat. "Mau berangkat kuliah ya, Kak?"

Perempuan itu melirik sekilas, lalu kembali merapikan sepatunya. "Iya," jawabnya kemudian dengan nada datar.

Aku rasa dia tidak ingin diganggu. Oleh karena itu aku hanya diam dan membiarkan dia berlalu begitu saja meninggalkan aku.

"Biarin, ah."

Lalu saat aku hendak menuruni tangga, aku mendengar pintu kamar kembali terbuka. Ternyata pintu kama Kak Ashel. Ia melihatku dan melambaikan tangan. "Mau kemana?"

"Mau jalan-jalan  aja, Kak," kujawab.

Kak Ashel buru-buru memakai sepatunya, lalu menghampiriku dengan cepat. "Bareng yuk? Aku juga mau ke stasiun depan."

"Mau berangkat kuliah?"

"Iya." Kak Ashel merapikan penampilannya. "Yuk?"

Kami melangkah bersama menuruni tangga, lalu keluar. Asal kalian tahu, kosan ini jaraknya sangat dekat dengan stasiun MRT dan stasiun KRL. Mungkin sekitar 50 meter dari rumah. Ini faktor utama bagi Ci Shani memilih kosan ini. Selain nyaman dan besar, juga dekat dengan stasiun. Sehingga Ci Shani tak perlu repot-repot memesan ojek online untuk pergi ke kantor.

Saat berjalan menuju ke stasiun MRT dekat kosanku, kami saling berbincang. Ternyata Kak Ashel orangnya periang. Wajahnya begitu ekspresif. Dia juga banyak bertanya dan selalu bisa menyambungkan topik obrolan satu dengan lainnya. Sampai aku tak sadar sudah mengantarkannya ke stasiun MRT. Kami berpisah di gerbang D.

"Duluan ya, Dek. Dadaaah!"

Tanganku melambai saat Kak Ashel mulai menuruni tangga. Dan setelah itu, aku memilih untuk berjalan tak tahu arah. Oh iya, aku lupa belum sarapan. Ci Shani lagi-lagi tak sempat memesan makanan sebelum berangkat kerja. Alhasil aku hanya diberikan uang lima puluh ribu untuk sarapan dan makan siang. Setelah menimang, aku memutuskan untuk membeli nasi uduk di dekat kosan.

"Eh, dari mana?" tanya seorang perempuan berkaos hitam yang aku kenal siapa dia. Sama sepertiku, dia sedang memesan nasi uduk.

"Bang, nasi uduk satu." Aku menarik kursi plastik, lalu duduk di sebelah perempuan itu. "Dari nganterin Kak Ashel ke situ," kujawab sembari menunjuk gerbang stasiun MRT.

"Wah, udah deket aja sama Ashel."

Perempuan itu adalah Kak Gracia. Iya. Orang yang kemarin kubantu memasangkan lampu kamar mandi dengan sedikit kejadian di luar dugaanku. Kami bertemu seperti tidak terjadi apapun kemarin. Padahal, aku masih sedikit grogi.

Setelah pesananku dan Kak Gracia jadi, kami memutuskan untuk kembali ke kosan bersama.

"Kak Gracia emang gak kuliah atau kerja hari ini?" kutanya setelah beberapa langkah meninggalkan warung nasi uduk.

PensioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang