Part 29 | Torch of Sincerity

4K 750 454
                                    






🚝 Minta 340 komentar untuk bab ini ya 🚝
Detik-detik masuk puncak. Be prepared.







Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














JANGAN pernah memercayai omongan lelaki karena ujungnya pasti kecewa sendiri.

Aku berniat memupuk trust issue dengan menggoda Kadewa, membuktikan bahwa nggak ada perkataan lelaki yang bisa dipercaya--mereka semua sama saja. Nggak akan bisa memegang omongannya.

Namun ending-nya aku malah tertampar.

"Naik, Ya. Katanya mau yang cepet." Kadewa mengegas motornya. "Akhirnya motorku dikasih consent buat nyentuh jalanan tanpa kata pelan. Ayo naik, Ya. Udah nggak sabar."

Aku ngasih kamu consent buat ngelakuin apa pun.

Consent yang aku maksud yakni aktivitas sensual, tuyul ini malah mengartikan "apa pun" secara literal. Apa pun untuk motornya. Sialan! Antara aku dan motor, masa lebih pilih motor?

Alisku mencuram. Seharusnya nggak begini. Kenapa Kadewa mengobati trust issue-ku? Aku masih menyayangi trust issue.

"Sayang, bisa naiknya nggak? Aku perlu turun dulu buat bantu kamu naik?" tawar Kadewa.

Berhubung jok motornya sempit, kami bertukar tas. Backpack milik Kadewa digendong olehku, sedangkan Kadewa menggendong tas laptopku di depan dada. Beruntung hari ini aku memilih outfit celana earth tone dan atasan turtleneck sehingga nggak terlalu repot.

"Nggak usah." Aku memegang pundaknya sebagai tumpuan naik ke atas motor. "Backpack kamu berat banget. Bawa apa sih? Batu jimat?"

"Iya, jimat keselamatan." Kekehannya menggema di parkiran pagi yang sepi. "Isinya dompet, lisensi, baju ganti, jaket, sarung tangan, senter, alat mandi, alat salat, parfum, P3K, terus bekal. Wajar berat."

"Kamu mau kemah atau kerja?" hujatku.

Tasku saja hanya berisi laptop, ponsel, dan charger. Kadewa rempong sekali sampai membawa P3K. Nggak sekalian tenda?

Motor mulai membaur bersama kepadatan jalan raya. Pagi hari merupakan waktu yang sesuai untuk mengebut. Kadewa menyuruhku memeluk pinggangnya tapi tentu saja aku enggan menurut. Nggak kehabisan akal, laki-laki itu meraih kedua tanganku untuk dimasukkan ke saku jaketnya.

Whatever. Hari ini aku sudah berjanji menuruti semua permintaan Kadewa. Hadiah telah lolos audisi model Classica.

"Udah sarapan belum, Yang?" tanya Kadewa sewaktu kami berhenti di lampu merah.

Jujur, sampai detik ini aku masih belum terbiasa dengan panggilan sayang. Sialnya lelaki ini mana bisa diprotes?

"Nggak usah nanya kalau bukan mau ngasih makan!" sahutku jutek.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang