00-Luna Amora

543 47 15
                                    








*****




Ditengah padatnya jalanan kota yang sedang diguyur hujan. Seorang remaja yang masih mengenakan seragam sekolah berlarian ditengah jalan yang dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Remaja berambut panjang sepinggang yang dibiarkan tergerai itu terus berlari. Tidak peduli dengan seragamnya yang mulai basah kuyup.

Dia tidak mempedulikan tatapan orang-orang disana. Yang terpenting baginya dia sampai ke rumah tepat waktu.

Dia terus berlari. Hingga dimana dia sampai didepan rumah besar dengan pagar yang masih tertutup rapat. Dengan gerakan cepat dia membuka pagar besi itu, tidak mempedulikan rasa dingin yang mulai menguasai.

Langkah demi langkah. Akhinya remaja berambut panjang sepinggang itu sampai didepan pintu utama. Tentu dengan keadaan sudah basah kuyup, dan menggigil.

Terdengar helaan nafas berat dari remaja berambut panjang sepinggang itu. Netra coklat gelap miliknya menatap pintu utama yang masih tertutup rapat. Cukup lama berdebat dengan pikirannya, dengan gerakan ragu-ragu remaja itu akhirnya memutuskan membuka pintu.

Saat pintu terbuka. Hal pertama kali yang dia lihat, seorang wanita tua menatap marah padanya. Dan itu membuat rasa takut semakin menguasai dirinya.

"Ma-maaf, nek.aku telat pulang." Remaja berambut panjang sepinggang itu berucap pelan. Menatap wanita didepannya takut-takut, detik berikutnya,dia menundukkan kepala.

"Maaf?" Wanita berumur 60 tahunan itu berucap lantang. Amarah begitu mendominasi dalam dirinya. Apalagi tatapannya yang tajam, "Seharusnya kamu gak usah pulang sekalian.!"

"Sudah untung saya mau menerima kamu tinggal disini. Tapi, kamu malah sering membuat masalah. Dasar anak sialan kamu, Luna.!" Mawar--wanita 60 tahunan itu berucap dengan nada tegas, membuat rasa takut semakin menguasai diri cucunya--Luna Amora.

"Maaf, nek."Lagi dan lagi, Luna berucap pelan, tidak berani menatap sang nenek secara langsung. Luna--remaja 15 tahun itu tetap menundukkan kepala. Berusaha menahan tangis sekaligus rasa dingin yang semakin menyerang.

"Tadi hujan, makanya aku neduh dulu. Aku kira hujannya bakal cepat berhenti, ternyata gak. Maaf, nek."

"Halah, alasan aja kamu! kan bisa pulang pake angkutan umum." Tidak ada sedikitpun rasa peduli dalam diri Mawar, saat melihat cucunya yang terlihat menahan kedinginan. Juga, wajah cucunya yang mulai memucat.

Dengan keberanian yang Luna punya. Ia menatap sang nenek, "Aku gak punya uang. uang yang nenek kasih minggu lalu udah habis."

"Dasar boros.!" Sorot penuh amarah, juga kebencian yang selalu terpancar dimata Mawar, "Selain boros, kamu juga nyusahin!"

Untuk sekian kalinya. Luna kembali menundukkan kepala. Bagaimana caranya menghemat uang 50 ribu untuk satu minggu? Apalagi Ia dalam keadaan masih sekolah. Meski Ia menahan mati-matian untuk menghematnya itu tidak akan bisa. Ada banyak keperluan sekolah yang harus Ia beli. Belum lagi, tugas-tugas sekolah yang harus mengeluarkan biaya yang cukup besar baginya.

"Kamu contoh kakak-kakak kamu. Udah hemat, selalu bikin saya bangga lagi. Gak kayak kamu, udah nyusahin, pembawa sial!"

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari remaja 15 tahun itu. Ia tetap diam, menahan rasa sesak didalam dada karena perkataan yang dilontarkan oleh sang nenek padanya.

Luna Dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang