Seperti biasa jika sehabis menghampiri sang dambaan hati, Baekhyun akan membelah jalanan Seoul untuk menuntun kemudinya, ke sebuah apartment kepemilikan Sehun, sekaligus menjabat sebagai sekretaris pribadi di Perusahaan INB100. Begitulah kegiatan yang diterapkannya setiap pagi tepat disaat cahaya aram memunculkan sinarnya.
"Diusir lagi?" Pertanyaan berulang dilontarkan oleh Sehun sehabis membuka akses memasuki kediamannya.
"Yup! Lagi dan lagi." Baekhyun menghembuskan nafas kasar setelah menjatuhkan dirinya ke sofa. "Apa aku mengganggu waktu tidurmu?" Lanjutnya.
Sehun mengerucutkan bibirnya. "Sudah tahu mengapa kau masih bertanya?"
Baekhyun terkekeh kecil. "Maaf, Sehun-ie. Aku tidak mempunyai pilihan. Hanya disini satu-satunya tempat bernaung ketika sedang merasa gundah gulana."
Sehun menepuk pelan pundak teman sejawatnya itu. "Ah, tidak apa. Hanya bergurau saja. Lagipula aku sangat hafal jadwal pagimu. Aku tidak ingin kau terlalu lama menunggu di luar. Maka dari itu, aku terjaga lebih awal."
"Wah, menakjubkan. Kau benar-benar sangat peduli terhadap sesama ternyata. Kamsahamnida, Sehun-shi." Sorak tepuk tangan menggema dalam apartment.
Tak khayal Sehun pun berbangga diri. "Pria dewasa memang sudah selayaknya berperilaku seperti itu. Haha." Tawanya. "Oh, ya, lantas apa tindakan lanjutan yang akan kau lakukan sekarang?"
Baekhyun menghela nafas dengan pelan. "Sejujurnya, aku ingin sekali membawanya langsung keluar negeri. Agar Yoojung mendapatkan perawatan yang lebih hebat. Namun, entahlah. Seperti yang kau tahu. Dia sangat membenciku. Aku tidak punya cara yang lebih efisien, untuk dapat membawanya kesana."
"Benar juga. Melihat wajahmu saja dia sudah tak bersedia. Rasanya Yoojung pun sudah sangat jenuh," setuju Sehun.
"Yaa! Tidak usah diperjelas, Oh Sehun! Hatiku semakin perih mendengarnya," tegur Baekhyun.
Sehun tertawa lepas. Pria berwajah anime itu, memang dengan sengaja menyadarkannya. "Lalu benda apa lagi kali ini yang sudah kau tinggalkan di You'r Kies/s Shop?"
"Hanya, sebuah benda yang tidak terlalu penting." Baekhyun tersenyum smirk.
"Huh, semua benda kau sebut tidak penting. Padahal barang yang kau biarkan jejaknya di sana merupakan sesuatu yang berharga. Sungguh! Aku tidak mengerti." Sehun mengoceh.
Baekhyun menggeleng kecil. "Kau salah, Sehun-ie. Sesuatu yang berharga bagiku adalah pemilik toko cookies itu sendiri. Bukan benda-benda tersebut"
"Ya, ya, ya terserah kau saja. Setelah kau meninggalkannya, kau akan datang kembali untuk mengambilnya esok hari. Apa kau tidak merasa lelah, terus mampir kesana tanpa jeda. Beristirahatlah sejenak, Baek!" pinta Sehun, yang mengetahui benar bahwa teman karibnya bukan sekedar lelah fisik, tetapi batinnya jauh merasakan keletihan tak berujung.
Baekhyun pun memejamkan mata. "Tidak ada kata lelah dalam kamus percintaanku, Sehun-ie. Lagipula, hanya itu alasan kukuh agar bisa kembali serta bersua dengannya
****
Yoojung tampak mengoceh panjang lebar di ruangan pribadinya bersama sang sahabat. Mina selalu jadi sasaran empuk untuk mendengarkan setiap curahan kekesalan hati. "Aishh, aku tidak paham atas dirinya. Apa dia punya penyakit riwayat ceroboh? Mengapa dia selalu meninggalkan benda sembarangan setiap singgah kemari. Terakhir kali menaruh jam tangan di atas kursi. Kini, lihatlah! Sebuah dompet dengan brand mewah beserta isinya yang tebal pula. Wah, apa dia sama sekali tidak membutuhkan uang?"
Mina dengan seksama menyimak seraya melahap strawberry cake kesukaannya. "Kau lupa bahwa Byun Baekhyun itu seorang CEO perusahaan INB100 yang terkenal seantero internasional? Kekayaannya melimpah bagaikan air sungai yang tak henti mengalir. Dan untuk menghasilkan uang baginya sangat mudah, Yoojung-ie. Lantas, jika hanya satu dompet saja yang terbuang sia-sia, mungkin masih ada beberapa dompet lagi yang kapasitasnya lebih padat dari ini.”
Seketika Yoojung melirik dengan tatapan yang sinis. "Kau selalu saja membelanya. Memangnya sahabatmu itu siapa, Mina-ya? Aku atau Byun Baekhyun sialan itu, eoh?"
"Ya, ya! Kau tidak boleh Mengumpatnya begitu, Yoojung-ie. Siapa tau dia nanti jadi suamimu di masa depan. Kau akan menyesal karena sudah berbicara asal seperti tadi," hardik Mina.
Sontak Yoojung membuka mulut dengan lebar. Tak lupa sekaligus membulatkan kedua netra hitam miliknya. "Mwo? Su—ah, suami kau bilang? Wah, Mina-ya kau benar-benar sudah ketularan tidak warasnya seperti dia. Haha, bagaimana bisa dia menjadi suamiku. Aku tidak mengenalnya, kau pun tau itu. Awalnya, dia hanya datang sebagai seorang pelanggan. Namun, seiring berjalannya waktu entah mengapa, sikapnya seolah-olah seperti sangat memahamiku lebih dari semua orang. Aku tidak suka!"
Mina terlihat memainkan sendok kecilnya. Lalu berucap dengan diiringi lontaran pertanyaan. "Itu tandanya, dia selalu memperhatikanmu, Yoojung-ie. Sehingga dia mampu mengerti segalanya bahkan lebih dari aku dan kau tau apa arti dari seorang pria yang merasa senang ketika memantau seorang wanita?"
Yoojung mengedikkan bahu sambil memasang wajah acuh. "Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, Mina-ya. Jadi jangan memberitahuku."
Gelak tawa Mina memecah keheningan. "Berarti kau benar mengetahui maksudku. Bahwa Dia sungguh tertarik padamu, Yoojung-ie. Kau sadar akan hal itukan?"
Yoojung mengangkat sebelah tangan dan menempelkan jari telunjuknya tepat pada bibir Mina. "Sstttt!! Sudah kubilang jangan memberitahuku, ck!"
"Yaa!! Lipstick-ku!" Keluh Mina seraya menepis lengan sahabatnya.
Gelak tawa kini berpihak pada Yoojung. Sembari gadis itu memperlihatkan telunjuknya pada Mina yang dimana kulit jarinya tengah ternoda oleh warna merah. "Lipstick-mu tidak asli."
Ledekan itu sontak membuat Mina menepuk pelan pundak Yoojung. "Setelah gaji aku terima, aku akan membeli sekotak yang asli dengan merek termewah. Lipstick ini sudah harga yang paling mahal tahu"
"Yup! Pembelaan diri itu memang hal yang sudah biasa. Haha," tawa Yoojung sembari mengambil selembar tisu untuk membersihkan jarinya.
Mina mengerucutkan bibir. "Ah, sudah. Balik ke topik awal," ucapnya. "Aku penasaran, Yoojung-ie. Memangnya kau tidak pernah tertarik satu kali pun kepada Baekhyun?"
Kepala mungil gadis itu tampak menggeleng. "Tidak dan tidak akan pernah.”
"Mengapa?" Mina tak merasa puas dengan jawaban yang diutarakan.
"Ya, tidak berminat saja," lugas Yoojung.
"Oh, begitu, ya. Heum.... Ah, satu lagi!" gumam Mina.
"Kau terlalu banyak bertanya," malas Yoojung.
"Ini yang terakhir." Janji Mina. "Ketika kau berhadapan dengannya atau ketika kedua matamu tengah beradu pandang. Apa kau tidak merasakan ada sesuatu getaran?"
"Ada," jawab Yoojung dengan singkat.
"Nah, itu pasti getaran cin—"
"Getaran emosi! Puas! Sudahlah cepat selesaikan makanmu setelah itu lanjut bekerja," pungkas Yoojung.
Mina pun sesaat merasa jengkel. "Huh, tidak seru sekali!"