part 3

3 1 0
                                    

Kediaman Panji Agung Laksono sudah ramai kedatangan sanak saudara yang akan mengikuti tahlilan. Tahun lalu acara ini sempat di tunda karena kesehatan eyang Laksmi sedang menurun. Dan alhamdulilah tahun ini eyang Laksmi sudah bisa ikut ke tahlilan peringatan kematian Panca dan Theresia.

Mobil mengantarkan Dara di kediaman Panji. Diantar oleh salah satu kerabat keluarga mamanya. Namanya om Galih, yang katanya kenal dekat dengan keluarga Panji.

Dara datang ke rumah Panji setelah pulang kerja, itu juga karena besok dia akan ke Bali. Tentu dia akan minta izin pada Panji tidak bisa datang ke acara tersebut.

Kedatangan Dara di sambut eyang Laksmi. Wanita paruh baya yang usianya lebih muda dari Oma nya langsung memeluk Dara penuh kerinduan. Pertama kali dia bertemu dengan Oma Lakshmi saat pulang dari Paris di tahun pertama hubungannya dengan Panca.

"Eyang," ucap Dara lirih.

Dua wanita beda generasi kini saling melepas rindu. Eyang Laksmi tampak sembab melihat kedatangan Dara. Sebegitu sayangnya dia pada Andara.

"Dara, eyang senang bisa bertemu kamu lagi. Kamu apa kabar, Nak?" Eyang Laksmi duduk sambil membelai rambut Dara.

"Alhamdulillah, Eyang. Kabar saya baik. Eyang apa kabar? Tahun lalu kita tidak bertemu. Dan Eyang makin cantik saja." puji Dara seraya menyandarkan kepalanya di bahu Eyang Lakshmi. Begitu manjanya pada Eyang Lakshmi seolah sudah seperti nenek sendiri.

Panji mendengar Dara sudah sampai di rumah. Dia melihat kebersamaan ibu mertuanya dengan Dara. Senyumnya mengembang, dia senang ibu Lakshmi masih menyayangi Andara. Padahal buka cucu nya.

"Om," Dara menghampiri Panji dan menyalami mantan calon mertuanya.

"Kamu baru sampai apa dari tadi?" tanya Panji menyilahkan Dara duduk di ruang tengah.

"Belum lama, Om. Dara sebenarnya mau bicara soal acara besok. Aku tidak bisa ikut sebab harus ikut kegiatan dari perusahaan ke Bali." kata Dara.

"Om sebenarnya ingin sekali kamu disini untuk beberapa hari. Menemani Eyang Lakshmi. Tapi saya tidak bisa mencegah kamu kalau soal pekerjaan. Kamu datang kesini saja saya sudah senang. Maaf Dara, Om tinggal dulu, ya. mau bertemu saudara yang lain." pamit Panji.

Dara menatap pintu tak jauh dari ruang tengah. Pintu yang bisa membuka semua kenangannya bersama Panca. Kamar pemuda itu masih tertata rapi. Masih seperti terakhir dia datang kesana ketika Panca masih ada.

Dara berjalan ke meja belajar, tampak photo berjejeran di sana. Termasuk photo dirinya saat masih SMA.

"Ketika rindu itu datang, siapa yang akan membayarnya. Kamu pergi ke Paris saat aku merasa benar-benar mencintaimu. Kamu muncul saat aku mulai melanjutkan hidup setelah patah hati penolakanmu. Aku mencoba move on dengan membuka hati pada Kinara. Tapi nyatanya aku tetap berharap kamu datang. Dan doaku terkabul."

Dara menangis memeluk catatan diary milik Panca. Sudah tak bisa dihitung lagi, ini sudah keberapa kalinya ia menangis. Menangis dengan alasan yang sama. Merindukan mendiang kekasihnya. Ia mengusap cairan bening itu dengan kasar, ia benci dengan air mata ini, menunjukkan betapa lemah dan cengeng hatinya.

Indri melihat kamar Panca terbuka, dia menemukan Dara entah tertidur atau mungkin pingsan di ranjang milik keponakannya.

"Dara, bukan hanya kamu yang kehilangan Panca. Kami juga sama, tapi kamu harus melanjutkan hidup. Kamu harus mengurangi keakraban dengan keluarga kami. Bukan kami tidak suka, tapi saya sedih setiap kamu kesini teringat sama Panca. Lupakan dia, Nak." bisik Indri.


Radar cinta Andara Where stories live. Discover now