Gumpalan-gumpalan awan putih ditiup angin menembus dinding dan atap-atap rumah yang berwarna merah, kuning, hijau pada jam sepuluh pagi. Wujud gumpalan beraneka ragam, ada serupa pulau Kalimantan, kuda-kudaan, balon, jamur, dan sekumpulan lengkungan mirip club dalam kartu remi.
Sejauh yang kuperhatikan ada dua jenis awan di atas sini. Satu jenis awan lembut bak gulali yang mampu diembus angin seperti yang kusebutkan sebelumnya, dan satu lagi awan padat yang dijadikan jalan raya, gang-gang sempit, taman bermain, halaman rumah dan gedung. Ada sebuah tangga di depan tiap-tiap halaman bangunan, berwarna biru tua seolah tak ingin siapapun salah sangka tangga itu adalah bagian dari langit melainkan akses keluar-masuk.
Pemukiman di atas awan ini memiliki sedikitnya 1.307 rumah, satu balai kota, satu sekolah, satu rumah sakit, satu kantor polisi, dan supermarket. Keberadaan kendaraan bermotor dilarang karena dianggap sumber polusi dan keangkuhan. Sebagai gantinya, empat puluhan sepeda berjajar di setiap parkiran taman-taman bermain. Siapa saja boleh menggunakan sepeda-sepeda itu asal tidak lupa dikembalikan. Konon, jika sengaja dibawa pulang, si pembawa akan dikutuk hingga kedua tangannya bengkok mirip setang selama tujuh puluh dua jam dan sepeda-sepeda itu akan mengayuh sendiri ke tempat asalnya. Bisa kupastikan cerita ini benar karena aku mengalaminya.
Terdapat lubang sangat besar tepat di tengah pemukiman. Sebuah tangga berwarna merah-berukuran sepuluh kali lipat dari tangga biru tua di depan halaman-halaman bangunan-membentang ke bawah entah menuju ke mana. Tak ada yang mencari tahu apa yang disembunyikan tangga merah itu karena memang tidak mungkin. Anak tangganya terlalu jauh satu sama lain seolah hanya raksasa yang bisa lewat. Warga bergotong royong membangun dinding di sekeliling lubang agar anak-anak mereka tidak tergelincir ke dalam ketidaktahuan. Aku sendiri mencoba terjun tempo hari. Bukan karena desakan untuk menemukan kebenaran di ujung tangga merah, tetapi ingin mengantar keputusasaan. Namun, seseorang memantraiku dengan petuah perihal kesempatan dan proses kehidupan, yang kini membuatku menanti kedatangan awan-awan gulali di balik jendela rumah sendiri.
Aku tahu pertanyaanmu, tapi takutnya aku tidak punya jawaban yang akan membuat puas; bagaimana kami bisa berada di atas sini? Sayangnya tidak satu pun dari kami tahu. Ingatan terakhir dari kebanyakan orang adalah dentuman maha dahsyat menghantam daratan Timur. Entah musuh negara ada hubungannya dengan ini atau tidak. Yang jelas setelahnya, tanpa aba-aba seperti ledakan peperangan, kami terbangun di sini.
Saat bangun pertama kali ingatan kami kosong sampai-sampai tidak mengenali diri sendiri, dan lingkungan ini sepenuhnya terasa asing. Namun, lambat laun detil-detil familier dari dunia sebelumnya mulai bermunculan; B adalah tetangga C, R suka berjudi di bar malam, tawa riang si gadis kecil M, H dikejar W sang penagih hutang dengan tato di leher, O anak difabel kebanggaan kota, serta A inisial 'aku' selaku anak broken home.
Sebagian menganggap pemukiman di atas awan ini sebagai surga dan kami sudah mati. Ada pula yang menyebutnya 'tempat singgah'-tempat ini sementara layaknya Bumi dikisahkan dalam Kitab tertentu-dan suatu ketika kami akan dibawa ke tujuan sebenarnya. Aku sendiri tidak ambil pusing. Takdirku penuh kesuraman tak peduli seberapa dekat aku ditempatkan dengan bintang-bintang seperti sekarang. Apapun itu, dan terlepas dari keterasingan asal-usulnya, sejatinya tempat ini adalah ōkina ie-sebuah rumah besar. Satu tempat di mana individu-individu dari berbagai latar dengan beragam watak berkumpul. Tempat di mana kami menjalin hubungan, merasa nyaman, tertawa, berkeluh kesah, dan menangis tersedu-sedu sampai suatu hari nanti kebenaran terungkap.
Mungkin di atas sini kami dimaksudkan memperbaiki kesalahan yang kami lakukan di bawah sana, sebuah bentuk kesempatan kedua yang dicari begitu banyak orang tetapi segelintir yang mendapatkan. Namun, siapa tahu? Manusia hanyalah bagian dari serpihan-serpihan misteri dunia. Tugas kita ialah bertahan sekuat tenaga. Tidak masalah gagal berkali-kali selama terus berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Toh, semua berproses dan ada masanya. Begitulah kata seseorang yang menghampiriku di tepi lubang besar tempo hari.
Gumpalan-gumpalan awan putih ditiup angin, semakin dalam menembus dinding dan atap-atap rumah yang berwarna merah, kuning, hijau pada jam sepuluh pagi lewat beberapa menit. Wujud gumpalan masih konsisten seperti sebelumnya: pulau Kalimantan, kuda-kudaan, balon, jamur, dan club dalam kartu remi.
Sejujurnya di detik ini di dalam rumahku sendiri aku bergetar seperti saat pertama kali mendengar petuah dari tepi lubang besar. Aku ingat benar saat itu satu sisiku berontak menunjukkan persetujuan-bunuh diri merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan. Di sisi lain aku lelah menelan bualan orang-orang yang sok mengerti hidup orang lain. Bara keraguan dalam diriku barangkali mengeluarkan asap mencurigakan di atas kepala kala itu, sehingga dia di tepi lubang besar mengungkap satu rahasia untuk meyakinkanku.
Aku terkejut mendengar perkataannya. Pasalnya menurut ucapannya rahasia itu tak susah dibuktikan, bertolak belakang dengan petuahnya yang bisa jadi sekadar metafora. Setidaknya ada tiga alasan kenapa aku mendengarkannya. Pertama, rahasia itu adalah perihal gumpalan awan yang notabenenya selalu kami lihat setiap hari. Kedua, pengujiannya hanya memakan waktu kurang dari satu menit. Ketiga, jika hasil pengujian tidak sesuai perkataannya-dia seorang pembual-aku pun tidak rugi. Justru aku tidak perlu repot memikirkan petuahnya lantas semakin yakin untuk terjun ke dalam lubang besar di kesempatan berikutnya.
Aku tengah melamun saat akhirnya ujung gumpalan berbentuk kuda-kudaan menembus jendela dan menyentuh jari kakiku. Awalnya terasa dingin, lalu muncul perasaan aneh nan menyenangkan. Aku memejamkan mata.
Berdiri di tengah-tengah gumpalan rasanya seperti ditempatkan di dalam kabut sembari mengisap permen pelega tenggorokan. Sensasi sejuk menjalar ke dalam tubuh hingga ke paru-paru dan pembuluh darah, memberi kesegaran bagi sekujur sel-sel hidup. Menariknya, efek gumpalan awan ini sama sekali tak bisa disamakan dengan udara dingin saat hujan yang membuat kita menarik selimut dan bermalas-malasan melainkan murni penuh kebaikan seperti seorang sahabat pendengar curhat yang memberi ketenangan dan dorongan semangat menjalani kehidupan. Tak heran seseorang di tepi lubang besar bilang banyak orang sengaja menenggelamkan diri ke dalam gumpalan ketika wajah mereka memerah menahan amarah.
Pikiranku sekonyong-konyong diisi kenangan keluarga yang bercerai. Betapa aku digambarkan menyalahkan kedua orang tua karena tidak memikirkan masa depan aku sang anak. Momen berganti. Meski dibatasi situasi, nyatanya si dua orang tua yang bercerai sungguh menyayangi sang anak. Sang anak tertawa, kedua orang tua tertawa. Kenangan satu dan yang lain berkelap-kelip, suka dan duka silih berganti. Kuperhatikan di antara momen yang muncul seringkali teriakanku mendominasi pertengkaran tanpa peduli cinta di antara kedua orang tuaku telah hilang. Aku menghirup gumpalan awan semakin dalam, mencoba membuat diriku rileks setelah menyadari akulah antagonis dalam cerita, yang merasa malu orang tuanya tak lagi bersatu.
Bisikan lembut gumpalan meyakinkanku dunia tak ada sangkut paut dengan niatan bunuh diri tempo hari. Dunia tidak sekejam itu. Perkataan orang lainlah yang kejam, suara-suara yang membujuk untuk selalu melihat ke atas dan menuntut kesempurnaan.
Di dalam gumpalan awan aku membuka mata. Keyakinanku tumbuh mengamini perkataan seseorang di tepi lubang yang kudengar tempo hari. Bertahanlah, akhirnya kataku memegangi diri sendiri. Semua berproses dan ada masanya. Pasti ada alasan kenapa aku, kami di sini, di ōkina ie. Meski menanjak, tetapi mungkin inilah awal mulanya, awal mula masaku.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Ōkina Ie
Short StoryCERPEN. Seseorang menemukan makna kehidupan setelah terbangun di pemukiman di atas awan bersama orang-orang lainnya.