Dinda berdiri di ruang bawah tanah yang remang-remang sambil menggenggam gelang ajaib. Jantungnya berdebar saat dia melihat sahabatnya, Erina, terikat di atas podium di tengah ruangan. Rasa bersalah menghantui Dinda, karena sahabatnya itu telah dijebak oleh ayahnya sendiri, Santoso, seorang preman pasar yang ditakuti. "Setidaknya dia sedang tidur. Dia tidak akan menyadarinya," pikir Dinda.
Santoso telah merencanakan semua ini. Dia adalah pria kasar yang semakin lemah dan sekarat, membutuhkan tubuh muda agar bisa bertahan hidup lebih lama. Santoso meyakinkan Dinda untuk menipu Erina agar datang ke ruang bawah tanah dengan alasan membantu mengambil barang-barang untuk proyek sekolah. Itu cara terbaik untuk memancing Erina ke sini saat mereka sedang mengadakan acara bermalam. Kini, keduanya terjebak dalam ritual gaib yang menyeramkan, dan Erina sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tangan Dinda gemetar saat menggenggam gelang itu. Ayahnya bilang bahwa dia harus mengenakannya di pergelangan tangan untuk memandu jiwa seseorang ke tubuh baru. Santoso telah memohon padanya, mengatakan bahwa itu satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup. Terjebak antara rasa takut dan rasa bersalah, Dinda ragu. Dia tak bisa membayangkan kehilangan ayahnya, tetapi mengkhianati Erina, sahabat terbaiknya, terasa seperti pengkhianatan yang begitu dalam.
Di kegelapan ruang bawah tanah itu, mata Santoso bersinar dengan keputusasaan. "Cepat, Dinda," desaknya dengan nada penuh ancaman. "Pakai gelang itu dan selamatkan aku. Masukkan aku ke dalam tubuhnya!" Namun, saat Dinda melihat ayahnya, dia tak lagi melihat pria yang dulu ia kagumi, melainkan seseorang yang berubah menjadi makhluk putus asa, dikuasai rasa takut akan kematian. Ini bukan hal yang benar. Dinda tahu, dia tidak bisa melanjutkannya.
Dengan segenap kekuatan, Dinda memasang gelang itu di pergelangan tangannya dan memusatkan pikirannya pada jiwa Santoso. Dia bisa merasakan kehadiran ayahnya, energi yang begitu kuat dan berdenyut. "Maaf, Yah," bisik Dinda pelan.
Dia mulai menarik jiwa Santoso dari tubuhnya. Cahaya gaib memenuhi ruangan, udara mendesis dengan energi yang mengerikan. Tubuh Santoso jatuh ke lantai, tak lagi bernyawa, sementara jiwanya terkunci di dalam gelang itu. Saat kekuatan gelang itu mengarahkannya ke tubuh Erina, Dinda tahu dia harus bertindak cepat. Dia menolak dorongan untuk menyelesaikan proses itu, pikirannya berkecamuk memikirkan sahabatnya. Tidak, dia tidak akan menghukum Erina dengan nasib ini.
Dengan semua kekuatan yang tersisa, Dinda melepaskan gelang dari pergelangan tangannya sebelum transfer itu selesai, memutuskan sambungan agar energinya tidak lagi mengalir untuk mengaktifkan sihir tersebut. Energi di ruangan itu memudar, dan jiwa Santoso melayang tanpa arah di udara.
Dengan hati yang berat, Dinda melihat jiwa ayahnya seolah melayang pergi, mengorbankan nyawanya demi sahabatnya. Namun, Dinda menyadari ada yang salah ketika jiwa itu tiba-tiba bergerak maju dan menembus tubuhnya. Dia berpikir ayahnya hanya ingin menakut-nakutinya, tetapi ada sesuatu yang salah ketika senyum perlahan terukir di bibirnya.
Santoso tertawa pelan sambil melirik ke arah Erina yang masih tertidur. Ruangan itu remang, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menerobos melalui tirai. Dengan hati-hati, dia berjalan menaiki tangga menuju kamar mandi. Dia merasa ringan dan bebas dari rasa sakit, dan napasnya yang tenang menunjukkan bahwa masalah pernapasannya sudah menjadi masa lalu.