bab 2 Dapat hukuman

7 5 0
                                    

Bab 2 dapat hukuman

Radit menambah kecepatan motor, seolah mengerti kegelisahan Aira. Dengan gesit, ia mengejar dan mendahului satu per satu mobil di depannya. Jalan raya ibu kota selalu padat saat menjelang magrib seperti ini. Semua berlomba ingin cepat sampai tujuan masing-masing.

“Radit, hati-hati…” teriak Aira antara takut dan senang dengan aksi heroic pria berkulit sawo matang itu.

“Aman! Lo, banyakin doa saja, biar kita selamat sampai tujuan.” Teriak Radit menanggapi peringatan Aira.

Mulut Aira pun komat kamit membaca doa dan surat-surat pendek yang ia hafal. Walau ada rasa takut yang teramat sangat tapi, ia tidak punya niat meminta Radit mengurangi laju kecepatan motornya. Aira ingin segera tiba di rumah. Berharap sebelum berangkat ke kampus, ia sempat sholat magrib, mandi dan makan.

“Alhamdulillah…” ujar Aira menarik napas lega setibanya di depan gerbang rumahnya. Saat itu, adzan magrib mulai berkumandang.

Radit mengulum senyum melihat raut wajah Aira yang sedikit pucat dengan senyum mengembang. “Benar perkiraan gua, kan? Nyampe rumah, lo, tepat saat adzan magrib berkumandang.” Ujar Radit mematikan mesin motor lalu membuka helmnya.

“Iya, salut, gua… Makasih banget udah nganterin sampe rumah dengan selamat,” ujar Aira mengacungkan dua jempol. “Tapi sory, cuy, gua bukannya nggak sopan ngusir, lo… masalahnya, gua buru-buru mau kuliah,” ujar Aira seolah mencegah Radit turun dari motor.

“Dasar teman gak ada akhlak… suruh masuk dulu, kek, tawarin minum, gitu…” haus gua habis balapan di jalan raya.”

“Nggak usah kayak orang susah, tinggal beli air mineral di warung.” timpal Aira yang tak ingin direpotkan,” Udah sana…” usirnya sambil meninggalkan Radit yang masih berharap dipersilakan masuk.

Melihat tidak ada harapan untuk bertamu, Radit memakai Kembali helmnya kemudian menyalakan mesin motor. Baru saja ia ingin pergi, Matanya tertuju pada Atha yang ke luar dari rumah dengan sajadah menggantung di bahunya. Mata kedua lelaki beda generasi itu beradu. Tanpa mengucap sepatah kata, Radit melaju motornya meninggalkan komplek kecil itu.

Atha mengernyitkan dahi menatap punggung karyawan magang di kafe milik orangtuanya itu. Kakinya melangkah melewati rumah Aira yang berada tepat di samping rumahnya. Di dalam komplek kecil itu ada lima rumah tangga yang kesemuanya anak dari eyang Darmawan. Dan diantara kelima rumah itu, rumah orangtua Atha yang paling megah, sedangkan pemilik rumah paling sederhana  yang terletak paling pinggir dekat pintu gerbang adalah rumah orang tua Aira.

Ayah Aira seorang guru di sebuah sekolah dasar, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Aira memiliki satu saudara perempuan yang bernama Dela. Usia mereka hanya terpaut satu tahun enam bulan. Saat ini, Dela kuliah di Bandung dan indekos di sana. Besarnya biaya Pendidikan Dela, dan kondisi ayah yang sering mengeluh sakit pinggang, membuat Aira terpaksa bekerja untuk membiayai kuliahnya sendiri. Ia tidak ingin menambah pusing ayah dan bundanya setiap awal bulan saat harus mengirim uang bulanan Dela, belum lagi uang tak terduga lainnya.  Untungnya tante Yulia bersedia mempekerjakannya.

“Bun, Aira berangkat,” ujarnya sambil mencium punggung tangan bundanya.

“Bareng Atha?” tanya bunda sembari berdiri dan mengikuti Langkah kaki Aira menuju pintu.

Aira tidak langsung menjawab, ia menoleh ke mobil Atha yang masih terparkir di garasi.

“Atha ada kelas kan hari ini?” tanya bunda yang hafal jadwal Atha mengajar di kampus Aira.

“Hum,” angguk Aira. Ia sedang malas berbicara jika itu menyangkut Atha.

“Aira berangkat duluan aja, bun. Aira mau nemuin dosen pembimbing.” ujarnya mencium tangan bunda. “Bilang sama ayah, Aira berangkat ya, bun,”

“Iya, nanti bunda sampaikan kalau ayah sudah balik dari masjid,” sahut bunda

“Assalammualaikum,” ujar Aira sembari melangkah pergi.

Baru saja Aira meninggalkan gerbang komplek kecil itu, Atha muncul dari Lorong kecil. Matanya tajam menatap Aira. “Mau kemana?” tanya Atha menyelidik saat jarak keduanya sekitar satu meter.

“Mau ke kampus. Ada janji ketemu dosen pembimbing. Aira duluan, kak Atha,” ujarnya tersenyum kecil.

“Hum,” angguk Atha sedikit meragukan alasan Aira. “Hati-hari,” sambungnya yang tak kuasa menahan langkah gadis bertubuh langsing itu.

 Setelah Aira berlalu dari hadapannya, Atha mempercepat Langkah kaki menuju rumah. Ia harus segera berangkat ke rumah sakit, memenuhi jadwal prakteknya. Rumah sakit tempatnya praktek malam tidak jauh dari kampus Aira, karena itu, ia sering berangkat bersama Aira. Kecuali hari ini.

Di kampus, Bima berjalan cepat menuju kelas Aira. Para mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kelas pertama dengan dosen yang terkenal kiler di kampus itu, menarik napas dalam melihat Bima sudah masuk ke dalam kelas. Kelas Bima tidak kalah menegangkannya dengan kelas dosen pertama tadi. Hanya saja, Bima tidak terlalu suka mengusir mahasiswa yang mengantuk atau tertidur di kelas. Ia paham kalau mahasiswanya itu rata-rata pekerja di siang hari. Ia hanya menegur dan menyuruh mahasiswa yang bersangkutan cuci muka, kemudian di suruh mengerjakan tugas.

Aira yang sejak jam pertama sudah sangat mengantuk, tak mampu lagi menahan matanya untuk tidak terpejam. Hari ini dia sangat lelah. Bagaimana tidak, sepulang kerja tadi sore, ia malah pergi jogging dengan Radit mengitari kolam di CIBIS Park sampai dua puluh kali putaran. Hasilnya ia kelehan.

Braaaak!!

Bima menggebrak meja, sontak seisi kelas terperanjak. Beberapa mahasiswa yang tadinya mengantuk, menjadi menyala. Begitu pun Aira, seketika kantuknya hilang. Matanya membulat menatap Bima yang duduk bersandar di kursi dosen.

“Yang mau tidur, silakan duduk di depan!” ujarnya menatap mahasiswa satu persatu. Lalu matanya tertuju pada Aira yang menunduk karena merasa bersalah.

“Duh, asem banget hari ini,” gumamnya merutuki diri. Terbayang hukuman apa yang akan diberikan Pak Bima nantinya. Dosen yang satu ini, nggak kira-kira kalau ngasih tugas.  Aira berdiri sambil mengankat tangan kanan. “Izin ke toilet, pak.” ujarnya berharap belas kasihan dari Bima.

“Mau ngapain kamu ke toilet? Melanjutkan tidur?” tanya Bima memasang wajah galak.

Kontan seisi ruangan tertawa mendengar omelan Bima.

“Ish, dia yang nanya, dia yang jawab,” gumam Aira menggerutu.

“Kamu bilang apa barusan?” tanya Bima yang tidak jelas mendengar gumaman Aira.

“Aira bilang, bapak makin ganteng kalau sedang marah begitu,” celetuk Naumi yang duduk tepat di samping Aira.

“Isht, sialan.lo, gue nggak ada ngomong gitu!” protes Aira yang syok mendengar celotehan Naumi yang diiring gelak tawa mahasiswa lain. “Bo.. Bohong, pak, sumpah, saya tidak bilang begitu… Saya kebelet pipis, makanya izin mau ke toilet,” ujar Aira berharap bisa keluar secepatnya dari kelas itu.

“Bohong, pak, Bohong…” goda Naumi sambil terkekeh melihat wajah Aira panik.

Wajah pak Bima memerah menahan tawa mendengar celetukan Naumi dan paniknya wajah Aira. Hanya saja ia buru-buru berpaling dan menghadap papan tulis menyembunyikan raut wajahnya.

“Nanti saja ke toiletnya, setelah kelas saya selesai. Kamu pindah duduk di depan!” ujar Bima menurunkan intonasi suara. “Ohya, setelah kelas selesai, temui saya.  Ada tugas buat kamu sebagai hukuman karena tidur di kelas,” Lanjut Bima tanpa memberi kesempatan pada Aira untuk protes.

Aira maju ke depan lalu duduk tepat di depan meja Bima. Ia hanya bisa pasrah menerima nasib serta hukuman yang akan diberikan dosen idola mahasiswi itu. Sesaat ia menoleh ke belakang, matanya melotot pada Naumi yang masih cekikikan sambil menutup mulut.

 

Rahasia hati AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang