01

5 1 0
                                    

Selamat membaca 😎❤️

CHAPTER 01

Académie d'Or Étoile

Bel sekolah berdentang lembut, menandakan dimulainya pembelajaran baru di hari kesekian.
Di dalam ruang kelas XII-4, para siswa mengalihkan perhatian mereka kepada sosok yang berdiri di depan meja guru—seorang gadis baru yang baru saja tiba dari jantung hiruk-pikuk New York. Setiap langkahnya memancarkan aura anggun nan jelita, seperti butiran salju yang jatuh dalam musim salju yang tenang. Siswi baru memperkenalkan dirinya dengan nada yang tegas namun penuh keanggunan, suaranya membelai udara kelas dengan pesona yang sulit diabaikan.

"Namaku Élodie Selenè Vane, pindahan dari Brooklyn academic of excellence dan kalian bisa memanggilku Selene."

Datang dari tempat yang penuh gemuruh dan suram, mencari tempat untuk menyebarkan sayap dan berkilau dalam lembaran baru kini.
Mata-mata yang menatapnya penuh rasa ingin tahu, mencoba menyelami kedalaman yang ada di balik kata-katanya. Ruang kelas itu seolah-olah menyerap setiap kata dan getaran dari kehadirannya. Guru kemudian menyuruhnya untuk segara duduk di samping Evégla, kebetulan juga kursi di samping Evégla sedang tidak berpenghuni semenjak pertemuan pertama kelas X-4.

Evegle melirik sejenak ke arah kedatangan murid baru yang perlahan duduk di sampingnya, sorot matanya terhenti di wajah Selene yang cerah dan flawless. Ada keinginan dalam benaknya untuk menggali kisah dari sekolah lama Selene, tapi kegugupan masih menyelimuti keduanya.
Diam-diam, Evegle memeriksa sosok Selene, dari ujung kaki yang kokoh hingga mahkota rambut yang terurai anggun.
Senyum samar menghiasi bibirnya.
Ketika materi kelas dimulai, rasa tegang itu mencair sedikit, membawa keberanian pada Evegle untuk membuka percakapan yang selama ini hanya terpendam dalam bisikan batinnya.

"Hai!... Aku Seraphina Evégla Thõrne, senang bisa jadi teman sebangkumu!"

Sapanya riang, wajahnya memancarkan cerah yang penuh dengan getaran positif. Namun, Selene hanya menatapnya tanpa ekspresi, wajahnya datar, seakan tak terpengaruh oleh keceriaan di sebelahnya.

Senyum Evegle perlahan memudar, ada keraguan yang muncul di balik riangnya. Ia menundukkan pandangannya sedikit, meski bibirnya masih mencoba mempertahankan lengkungan senyum yang kini samar.

"Apa mau mu?" Tegas selene.

Evegle mendongak, menatap nya dalam dalam, ia heran oleh pertanyaan selene, seakan-akan ia punya masalah dengan selene berjuta-juta tahun yang lalu.

"Maaf selene, tapi apa maksud mu?"
Balas nya.

Selene tampak kesal dan merotasikan matanya seraya memalingkan wajah dan beralih posisi yang kemudian belajar menggenggam pulpen dan menulis tulisan pada papan tulis. Evegle sedikit menunduk merasakan tingkah aneh oleh selene. Ia tak ingin ambil pusing, ia lantas mengambil pulpen dan belajar.

"Apa maumu?" Selene bertanya tegas, nadanya dingin.

Evegle tertegun, mendongak dan menatap Selene dalam-dalam, rasa heran menyeruak di hatinya. Pertanyaan Selene terdengar seolah-olah mereka memiliki sejarah permusuhan yang berakar dari berjuta-juta tahun yang lalu.

"Maaf, Selene, tapi apa maksudmu?" jawab Evegle, bingung.

Tanpa banyak bicara, Selene hanya mendesah kesal, matanya berputar penuh rasa jengkel sebelum ia memalingkan wajah. Dengan gerakan cepat, ia meraih pulpen, mulai menulis di buku sambil menyalin kata-kata dari papan tulis.
Evegle menunduk sedikit, merasa aneh dengan sikap dingin yang diterimanya. Namun, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, lalu mengambil pulpennya sendiri dan fokus pada pelajaran.

XIII-1

Guru mempersilakan siswa baru untuk memperkenalkan dirinya di hadapan seluruh murid kelas XIII-1. Dengan langkah mantap, siswa baru itu maju ke depan kelas, berdiri di samping meja guru. Ia merapikan postur tubuhnya sejenak, lalu dengan percaya diri memperkenalkan diri.

"Saya Lucien Drake Noxve dari Aoraki Sports Institute, New Zealand," ujarnya tegas.

Setelah itu, guru mempersilakan Drake untuk mengambil tempat duduk. Kebetulan, ada dua kursi kosong yang pemiliknya sudah pindah sekolah. Saat berjalan, pandangan Drake tertuju pada seorang laki-laki yang tampak sibuk melamun, asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sebuah senyum kecil muncul di wajah Drake, ia tertarik untuk duduk di sampingnya.

Berniat menanyakan namanya, Drake mendekat, namun melihat laki-laki itu masih tenggelam dalam lamunannya, ia pun memutuskan menundanya hingga jam pelajaran usai.

Ketika sedang merapikan buku tugas  miliknya, samar samar terdengar suara laki laki memanggil nya dari samping.
Siswa baru yang tidak disadarinya sudah berada di sana dari tadi.

"Tadi kau terlihat sibuk sekali, sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku,"
ucap siswa itu sambil terkekeh ringan.
Erick menatapnya, dari ujung kaki hingga kepala. Siswa baru itu kelihatannya berasal dari keluarga yang berkelas dan penuh kemewahan.

"Siapa kau?" tanyanya balik, sedikit waspada.

Tanpa ragu, siswa baru itu tersenyum dan menjawab,
"Lucien Drake Noxve Dan kamu?"
Erick, yang semula merasa tegang, mulai sedikit merasa suasana menjadi agak santai.

"Roderick Harrington Valois, tapi panggil saja Erick."

Erick memandangi mata Lucien yang seolah-olah ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.
"Ada yang mau kamu tanyakan lagi? Kamu terlihat sangat penasaran."
Lucien tertawa kecil.

"Yeah, kamu benar. Aku penasaran dengan sekolah ini," ujarnya sambil mengamati kelas dengan teliti.

"Banyak cerita yang tenggelam di sini, bukan?"

Bel istirahat berbunyi mendadak, menandakan berakhirnya waktu pelajaran. Erick berdiri di hadapan Drake, menawarkannya.

"Mau ikut aku ke kantin?" Tanya Erick.

Drake membalas dengan anggukan, dan keduanya melangkah menuju kantin. Suasana ramai di di seluruh penjuru sudut-sudut kantin memaksa mereka berjuang menembus kerumunan untuk mencapai penjual makanan.

Langkah demi langkah, mereka mendekati tempat yang akan segera kehabisan stok makanan. Demi mengusir rasa lapar, mereka rela menunggu dan bersabar.

Drake, kesulitan menahan sabar, sempat terlibat dalam beberapa keributan dengan siswa-siswa yang menyerobot antrean.

Dalam hati, Drake mengeluh, merasa sekolahnya yang lama lebih tenang dalam hal ini dibandingkan tempat baru ini.

Tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk belanja murid, terdengar suara benda berat jatuh dari ketinggian. Ternyata, itu adalah siswa kelas XI-8 yang terjatuh.
Seluruh murid mengerumuni tempat kejadian, sementara beberapa guru berusaha menolong dan segera memanggil ambulans untuk membawa siswa tersebut pergi.

"Kulihat, Erick, kau tampak sudah begitu terbiasa. Tapi, sudah berapa orang yang menjadi korban dalam kejadian ini?" tanya Drake, senyum penuh makna menghiasi bibirnya.

VOTE DAN COMMENT GUYS!
DOLARYS SANGAT MENCINTAI VOTE DAN COMMENT KALIAN, SO... YOK VOTE!! AMPE 1K 💋❤️

Enigma Of Elegance By DolarysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang