ALEANA- Jejak Perasaan

8 2 0
                                    

Aleana masih terbaring di lantai rumah kayu yang dingin, tubuhnya bergetar dari rasa lapar dan rasa sakit yang menghimpitnya. Api di perapian yang menyala memantulkan cahaya redup di wajahnya yang pucat. Air mata yang tak henti-hentinya mengalir di pipinya, menetes ke lantai, menciptakan genangan kecil yang seakan merefleksikan keputusasaannya.

"Kenapa ini harus terjadi padaku?" Aleana berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Hujan mulai redah diluar sana, suara api yang berdetak dan angin yang berhembus dari luar menjadi satu-satunya yang menemaninya malam itu.

Aleana menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa putus asa yang mulai merayapi hatinya. Dia tahu, di luar sana, dunia terus berjalan. Tapi di sini, waktu seolah-olah berhenti, terjebak dalam kekosongan yang membosankan. Bagaimana mungkin dia bisa keluar dari tempat ini? Dia sudah mencoba melawan, berusaha mengakali takdir yang menahannya, tapi setiap usahanya hanya berakhir dengan sia-sia

Skenario-skenario yang berputar dalam benaknya seperti mimpi buruk yang tak pernah usai. Setiap sudut ruangan ini telah dia kenali, setiap celah dan jendela yang mengarah ke dunia luar sudah dia periksa berkali-kali. Namun, kebebasan tampaknya selalu berada di luar jangkauannya, menghilang seiring dengan asap yang semakin tipis dari perapian.

Ia menggigit bibir bawahnya, kakinya yang lemah, nyaris tak mampu menopang berat tubuhnya. Ia mencoba berdiri di sudut ruangan, keringat dingin mengalir di dahinya, jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa sakit dan lapar, tetapi juga ketakutan yang mencengkeram setiap sudut pikirannya.

"Aku harus bisa pergi dari sini..." bisiknya, dengan nada lemah.

Tangannya meraih dinding kayu di sampingnya untuk menjadi pegangan. Setiap gerakan kecil membuatnya meringis kesakitan.

Dengan nafas yang terengah-engah, ia mencoba melangkah lagi. Kaki kanannya bergetar hebat, nyaris menyerah, namun ia menolak untuk terjatuh.

"Aku harus kuat," gumamnya lagi, di depannya, pintu kayu tua itu terlihat sangat jauh, meski hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri.

Aleana berusaha mendekati pintu tersebut. Di kepalanya, hanya satu pikiran yang terus menggema

"Keluar atau mati?" suara itu terdengar dingin, hampir tanpa emosi, namun cukup kuat untuk memecah kesunyian yang melingkupi ruangan

Aleana tiba-tiba berhenti, tubuhnya menegang. Napasnya berburu saat ia dengan perlahan menoleh ke arah asal suara itu. Di sudut yang gelap, tak jauh dari tempatnya berdiri, Pria itu berdiri dengan tubuh tegap, wajahnya tertutup sebagian bayangan, menyisakan matanya yang tajam.

"Sudah berapa kali kuperingatkan, Aleana?" suara itu terdengar lagi, kali ini lebih tajam dan lebih dekat. Dari balik bayangan, pria itu melangkah maju, menampakkan wajahnya

Tubuhnya terasa membeku di tempat, jantungnya berdebar keras hingga rasanya sesak di dada. Aleana menggigit bibirnya berusaha menahan air matanya yang hampir keluar. Ia merasa terjebak, seperti burung yang tak mampu terbang.

"Aku tak mengenalmu, jadi untuk apa aku disini" ucap Aleana dengan suara yang bergetar, namun tegas. Ia menatap pria di depannya dengan tajam,

Pria itu mengangkat alis, tampak terhibur oleh pernyataan Aleana. "Benarkah?

Aleana menahan nafas, tubuhnya menegang, sementara pria itu semakin mendekat, membuat ruangan itu terasa semakin mengecil. Suara derap sepatunya yang menyentuh lantai terdengar begitu jelas, seolah menghitung waktu yang tersisa bagi Aleana untuk melarikan diri.

"Jangan membuatku marah, Aleana." suaranya berubah dingin dan mengancam. Senyum tipis yang sebelumnya menghiasi wajahnya menghilang, digantikan tatapan tajam yang mampu menembus siapapun yang melihatnya.

ALEANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang