Prolog

9 3 0
                                    

"Jika seseorang membuatmu tidak nyaman, maka tersenyum saja sebari kamu menodongkan pistol ke arah kepalanya, dan dia akan diam dengan sendirinya." - Eloise Walker.

***

Di ruangan yang mengerikan, berdinding lembap dan lantai ruangan yang dikotori oleh noda merah yang kemungkinan adalah darah, lalu barang-barang mengerikan memenuhi seisi ruangan itu.

Eloise merinding ketakutan, ruangan itu seperti tempat untuk acara pemujaan Iblis.

Di sana seorang wanita berambut hitam panjang sampai menyentuh paha, mengacak-acak seisi ruangan dengan membabi buta sambil berteriak dengan kencang. Eloise seperti biasa hanya bisa merapat pada dinding lembap itu dengan rasa ngeri.

Tidak tahu bagaimana terjadi, dinding yang menjadi penopangnya berubah menjadi lubang, membuatnya terjengkang jatuh ke sebuah lubang gelap, dalam, dipenuhi oleh bayangan mengerikan serta suara-suara yang mengganggu kepalanya.

Eloise menutup kedua telinganya serta menutup kedua matanya, mencoba sebisa mungkin tidak melihat serta mendengar sekelilingnya.

"Hentikan!"

Eloise berteriak kencang, ia terbangun dari mimpi buruknya dengan tubuh bersimbah keringat. Eloise meraup wajahnya dengan kasar. Entah sudah keberapa kali Eloise terbangun pada pukul tiga pagi dengan keadaan penuh keringat akibat dari mimpi buruknya. Mimpi buruk yang terus berulang sejak usianya delapan belas tahun.

Ia mengambil segelas air yang sudah ia siapkan di samping tempat tidurnya, setelah menandaskan semua, Eloise memilih bersandar pada kepala ranjang, masih memegang gelas yang sudah kosong isinya.

Kegelapan akan bangkit.

Kematian akan memenuhi takdirnya.

Kata-kata itu terus terngiang setiap ia bermimpi. Entah apa yang dimaksud, namun sepertinya sesuatu yang sangat buruk.

Sangat, sangat buruk.

Di saat seperti ini Eloise malah teringat dengan perkatakan sang Ibu. Ibunya dulu berkata, dia harus memenuhi takdirnya yang terlahir sebagai peramal.

Mengetahui fakta bahwa dirinya seorang penyihir saja sudah membuatnya terguncang. Apalagi menjadi seorang peramal. Terlebih wanita yang selama ini merawatnya yang sudah dianggapnya sebagai Ibu, bukanlah Ibunya.

Setelah delapan tahun mengabaikan mimpi buruknya. Kali ini ia tidak bisa mengabaikannya lagi. Ia lelah, takut akan sesuatu buruk yang bisa saja terjadi.

Pagi buta ini Eloise terlihat sibuk membenahi barang-barangnya, dan ia memilih tas besar yang sering dipakainya mendaki.

Banyak barang yang ia bawa, mulai dari uang, makanan instan, obat-obatan, GPS, baju ganti, kantung tidur, korek api, senter, bahkan ia membawa kosmetik serta pisau lipat untuk berjaga-jaga.

Setelah bersiap dan mengganti apa yang dipakainya kemudian menyampirkan tas besar itu ke pundaknya, sampai sedetik kemudian Eloise terhenti ketika tangannya hendak memegang gagang pintu apartemennya.

Suatu yang sangat penting terpikirkan olehnya setelah kegiatan bodohnya beberapa menit yang lalu.

"Setelahnya kemana?" tanyanya merujuk pada dirinya sendiri.

Mengumpat dalam bahasa Ibunya. Eloise, Ia hempaskan tas besarnya itu kelantai hingga menimbulkan suara yang bedebug kencang.

Eloise menghempaskan tubuhnya ke sofa yang menghiasi ruang tamu dan matanya menatap lurus televisi yang mati.

Merutuki sifat impulsifnya yang tidak memikirkan secara matang apa yang harus diperbuat selanjutnya. Seharusnya ia merencanakan kemana dan kepada siapa yang harus ia temui.

Tidak lucu ia haru bertanya kepada seseorang di jalan, yang ada ia yang akan dianggap tidak waras.

"Identitasku sebagai penyihir sudah sangat aneh, dan merapalkan mantra saja aku tidak tahu, lalu bagaimana pula melakukannya." Eloise mengacak rambutnya frustrasi. Rasanya kepalanya akan meledak.

"Ayolah kepala, berpikirlah. Ibu bilang aku adalah seorang peramal, mungkin aku bisa melihat sebuah penglihatan." Kedua matanya terpejam dengan kedua tangan memegangi kepalanya.

Berusaha berkonsentrasi memikirkan bayangan atau mungkin ingatan yang terlintas atau juga sebuah petunjuk.

Sekian menit berlalu namun nihil, Eloise tidak menemukan sebuah penglihatan apa pun. Ia menghentikan semuanya, lelah sebenarnya bertindak bodoh itu.

Getaran ponselnya menyita fokusnya, nama Amanda menari-nari dilayar ponselnya, tidak membutuhkan waktu lama bagi Eloise untuk mengangkat panggilan itu.

"Good morning, baby bird!" Suara Amanda menyapa dari balik telepon.

"Pagi." jawab Eloise lesu, punggungnya yang bersandar pada punggung sofa merosot ke bawah tidak bertenaga.

"Ada apa dengan nada suara yang lesu itu, kau baik-baik saja bayi burungku?"

"Hm... begitulah. Ada apa menelepon?" Suaraku sangat lemas.

"Astaga, sepertinya bayi burungku sudah melewati hari yang berat. Aku meneleponmu sebenarnya ingin mengajakmu dengan yang lainnya untuk berkemah dan berburu seperti biasa."

"Berkemah?" tiba-tiba tubuh Eloise menegak, ia beranjak menyeberangi ruangan, melihat kalender yang menunjukkan pertengahan tahun.

Setiap setahun sekali, ia bersama teman-teman dari klub menembak menghabiskan waktu untuk berkemah dan berburu.

"Tapi sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja, apa kau ingin melewatkannya saja dan beristirahat?"

Setelah menimbang-nimbang sejenak Eloise melingkari sebuah tanggal.

"Tidak, aku akan ikut. Mungkin dengan tinggal beberapa hari di alam terbuka bisa membuat perasaanku membaik."

"Baiklah, jika kau berubah pikiran, kau masih memiliki dua hari untuk memikirkannya."

Eloise menuliskan sesuatu di kalender itu sebari tersenyum kecil. "Tidak, kali ini aku akan ikut."

Eloise menoleh pada sesuatu yang terpajang di dinding tidak jauh dari tempatnya. Senyumnya terpatri dengan cantik bahkan sampai menampilkan deretan gigi putihnya.

Tes tes! Coba dulu 🍻

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Bond of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang