14

114 12 0
                                    

Namjoon menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu menyesap cocktail yang sedari tadi menganggur di hadapannya.

Di balik tirai asap yang sedikit mengaburkan pandangannya, Seokjin tampak duduk di sofa, diapit dua pria tua yang sedari satu jam lalu berlomba merebut perhatiannya.

Nyanyian merdu dari seorang drag queen yang berdandan ala Marie Antoinette di panggung, membuatnya otomatis melirik. Dan si drag queen langsung menunjuknya, mengedipkan sebelah matanya.

Namjoon tersenyum kecil lalu mengangkat gelasnya tanda ia menolak undangan si drag queen untuk mendekat dan berpartisipasi dalam pertunjukannya.

Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Seokjin, yang sama sekali tidak mempedulikannya. Kerling matanya manja, liuk tubuhnya menggoda, bahkan cara ia memegang rokoknya berbeda dari biasanya.

Seokjin ada di zona nyamannya, dan tanpa ia sadari mengeluarkan segala pengetahuan yang didapatkannya dari bertahun-tahun bersandiwara di depan para pria.

Namjoon kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, kali ini sekaligus menghela napas panjang. Mengingat pertengkaran mereka sebelum keduanya berakhir di drag club ini.

Seokjin ngotot ingin kembali mencari Sugar Daddy. Ia merasa gelisah karena tidak ada uang yang masuk semenjak perampokan yang gagal.

Namjoon berkeras keinginan Seokjin berbahaya. Mereka sudah berpindah ke tiga kota dalam dua bulan, pengumuman pencarian mereka masih sesekali ditayangkan di televisi.

Dan sebenarnya, mereka punya cukup uang untuk hidup nyaman walaupun low profile sampai beberapa tahun kedepan. Seokjin tidak perlu lagi menjual tubuhnya, dan Namjoon tidak perlu lagi menyusun pencurian.

Tapi Namjoon berusaha mengerti pola pikir Seokjin. Hidup dalam kemiskinan semenjak kecil membuatnya merasa bahwa uang yang dimilikinya tidak akan pernah cukup. Dalam pikiran Seokjin, uang adalah sesuatu yang harus terus dicari, dikumpulkan, dihemat.

Maka Namjoon menyerah, walaupun perasaannya gamang karena ia sama sekali buta tentang seberapa aman drag club yang mereka datangi ini. Paling tidak Seokjin sudah berjanji mereka hanya akan minum-minum dan mengobrol.

Janji tinggallah janji. Hanya lima belas menit setelah mereka datang, minuman dari meja sebelah diantarkan ke meja mereka. Satu lirikan, dan Seokjin sudah berpindah dari sebelah Namjoon.

Namjoon mencoba memperingatkan Seokjin melalui chat, tapi Seokjin sama sekali tidak mengeluarkan ponselnya.

Maka Namjoon menunggu, dan menunggu.

Hingga akhirnya kesempatan itu datang, Seokjin melirik ke arahnya. Namjoon langsung memberi kode bahwa mereka sudah harus kembali ke rumah sewaan mereka. Tapi Seokjin membuang muka, dan kembali merayu pengagum barunya.

Namjoon menggeram. Ia tidak paham kenapa ia merasa begitu kesal. Mungkin karena radar kriminalnya yang terlatih selama ia berada di penjara terusik. Atau, apakah ia cemburu?

Sejak awal hubungan mereka, Seokjin selalu memiliki hubungan dengan pria lain. Sebatas seks. Dan itu tidak pernah menjadi masalah buat Namjoon. Karena baginya, hubungan mereka berdua melebihi hubungan fisik. Ada kasih sayang, rasa percaya dan tanggung jawab kepada satu sama lain.

Tapi, ia sadar ia mulai menginginkan lebih. Walaupun ia tidak pernah menyampaikannya.

Namjoon cepat-cepat meninggalkan mejanya untuk membasuh wajahnya di toilet. Tapi darahnya menggelegak saat ia kembali ke mejanya dan Seokjin menghilang.

Serta merta ia berlari ke mobilnya, menyalakan tracker yang dipasangnya di ponsel Seokjin. Pengejarannya berakhir di sebuah rumah yang gelap. Hanya satu jendela yang menyala.

Tomorrow [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang