3. Masih Waras itu Anugerah

33 10 24
                                    

Tok tok tok

Sinyal listrik berhasil menangkap getaran suara, mengaktifkan kembali kerja otak untuk membangunkan kesadaranku dari alam mimpi.

Kuambil bantal yang menahan kepalaku, menggunakannya untuk menutup kedua telinga yang sedari tadi terus menangkap suara berisik dari luar apartemenku.

Dor dor dor

"APASIH! GANGGUIN TIDUR AJA!"

Bantal yang kugunakan untuk menutup telinga, semakin kueratkan lagi. Namun, entah mengapa gedoran pada pintu apartemenku semakin kuat dan rasanya seperti ada seseorang yang ingin mendobrak masuk.

Aku bangun dengan sangat terpaksa. Berdiri dari atas kasurku dengan keadaan nyawa yang masih belum terkumpul sepenuhnya. Kuarahkan pandanganku pada jam berbentuk kotak di atas nakas.

13.42

Manusia kurang ajar mana yang dengan lancangnya menganggu waktu istirahatku ini?

Dengan kekesalan penuh kubuka pintuku, ingin segera memarahi siapapun dibalik aksi menjengkelkan ini.

"Lu baru bangun?"

"Lu ga tau kalau hari ini weekend?" sambarku hampir ingin menendang si sosok pria berkacamata di depanku ini. Bima. Iya, ini Bima yang ada di part sebelumnya.

"Tau kalau weekend. Tapi, ga kek kebo juga kali. Masa iya anak gadis bangunnya jam satu?"

Kusandarkan kepalaku pada kusen pintu apartemen. Bangun mendadak dari tidur yang panjang membuat bumi terasa seperti sedang bergoyang.

"Lu ga tau kemarin gue lembur sampai jam lima pagi, hah?!"

Mata pria itu menunjukkan keterkejutan dari balik kacamatanya. Mulutnya membulat mendengar pernyataanku barusan. Padahal aku yakin dia sudah tau akan hal itu. Bukankah dia juga menjadi saksi dimana aku menerima banyak pekerjaan mendadak dari karyawan-karyawan lainnya?

"Ga tau, tuh," katanya enteng dan langsung mendorong pintuku untuk terbuka lebih lebar hingga bisa membuat tubuhnya leluasa untuk masuk.

"Mandi, gih! Sarah sama anaknya udah nungguin."

Keningku berkerut, masih berdiam diri di depan pintu. Mengapa Sarah dan anaknya menungguku? Ada utang diantara kami? Sepertinya tidak.

Bima terdiam. Tangannya berkacak pinggang di depan kulkas. "Lu ga ingat? Lu kan udah janji sama anaknya Sarah buat ngajarin mereka ice skating!"

Netraku melebar seketika. Kesadaranku seketika kembali seratus persen. Kutepuk pelan jidatku. Bagaimana bisa aku melupakan janji tersebut?

***

"Gisel! Maureen!"

Aku berlari menghampiri dua anak perempuan dengan rambut yang dikuncir dua. Raut wajah mereka benar-benar menujukkan kebosanan. Perasaan bersalah langsung menghampiri diriku, aku yakin mereka sudah menanti dengan sangat lama.

"Aunty Naya!"

Pelukan hangat langsung kudapatkan dari dua anak kecil yang merupakan anak dari sahabatku, Sarah.

"Lu lembur yah kemarin?" suara Sarah tertangkap jelas oleh telingaku entah dari arah mana namun aku masih belum mau melepaskan pelukan kedua anaknya.

"Hm, lembur mendadak."

Decakan terdengar dari wanita itu, "kenapa ga ngasih tau aja biar gue batalin. Kasian banget mata pandanya kelihatan tuh."

Aku melepaskan pelukkanku. Si Sarah ini mulai mengomel layaknya ibuku.

Nyanyian Pena dan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang