Jariku mengetuk pelan meja sembari memperhatikan seorang wanita di seberang sana yang tengah sibuk melihat kertas yang ada digengamannya. Sesekali ia memalingkan pandangan ke arah laptop di depannya.
"Iya, yah. Kamu belum pernah ngajuin cuti selama setahun belakangan ini."
Aku mengangguk membenarkan kata-kata yang keluar dari wanita itu.
"Are you oke?" tanyanya. Kedua telapak tangannya kini mengatup diatas meja, terlihat seperti ingin menginterogasiku lebih dalam.
"Oke. I'm Oke. Yah, cuman butuh cuti aja sih, mba," jawabku berusaha menegaskan bahwa aku baik-baik saja.
Deru napas kasar bisa kudengar dari wanita yang bekerja sebagai human resources di perusahaan ini. "Oke, boleh. Cuti selama lima hari, 'kan?" tanyanya kembali memastikan bahwa rentang cuti yang tertera pada surat permohonan cuti yang kuajukan tadi benar adanya.
"Iya, mba. Lima hari doang. Kerjaan aku yang lain udah selesai. Terus sisanya udah minta tolong ke Bima buat handle kalau nanti ada kerjaan mendadak."
Wanita di depanku mengangguk paham kemudian melipat kembali surat yang ada di atas meja, "oke, deh kalau gitu. Pengajuan cutinya di terima, yah. Tapi kamu juga haru ngasih tau ke pak Bass. Tau sendiri kan, yang biasa pak Bass andelin kan kamu."
Aku tersenyum baru menyadari hal tersebut. Ah, benar. Pria itu. Aku harus memberitahukan rencana cutiku ini kepadanya. Bisa-bisa dia terus meneror ponselku selama cuti nanti.
"Makasih udah ngingetin, yah, mba. Aku permisi dulu, mau ke ruangannya pak Bass."
Setelah berpamitan, kakiku bergerak keluar dari ruangan. Berjalan dengan langkal besar menuju ruangan yang sudah sering kudatangi, berharap pria itu tak membuat banyak drama di pagi hari.
tok tok tok
Tanganku berayun pelan pada pintu menghasilkan bunyi yang khas. Aku berdiam diri, menunggu sautan dari dalam sana, namun suara yang kuharapkan itu tak kunjung menyambutku.
Napasku terbuang kasar. Jika, sudah seperti ini aku yakin pria di dalam sana sedang sibuk dengan urusannya. Segera kubuka pintu yang ada di depanku berhasil menampilkan sosok pria yang tengah berkutat dengan banyaknya kertas di atas meja. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
"Pak Bass!" panggilku. Yang dipanggil langsung mengangkat wajahnya sekilas memperhatikanku lalu kembali dengan tumpukan kertasnya.
"Oh, Naya. Syukurlah kamu ada disini. Tolong bantuin saya ngurus dokumen ini."
Mataku membulat dengan kedua alis yang terangkat. Sebentar. Harus kuperjelas, aku datang kemari bukan untuk bekerja melainkan mengajukan cuti. Dan, mengurus dokumen-dokumen itu bukan pekerjaanku.
"Em, pak? Aku mau info kalau aku ngambil cuti selama lima hari terhitung dari hari ini."
Pria yang sangat kukenali itu langsung menghentikan aktivitasnya. Wajahnya nampak sangat terkajut. Kepalanya bergerak sedikit miring, terlihat mencoba mencari sesuatu dalam diriku.
"Kok gitu, Nay? Saya butuhin kamu banget loh sekarang," katanya. Kertas yang ada di tangannya sudah ia letakkan kembali di meja.
"Pak Bass bisa langsung hubungi Bima aja. Soalnya aku minta tolong ke Bima buat handle kerjaanku selama aku cuti."
"Tapi, cuman kamu yang bisa saya andelin."
Aku mengambil jeda sepersekian detik mencoba menenangkan diriku. Lagi? Mantra itu lagi yang diucapkan?
"Pak, saya lagi ga enak badan karena akhir-akhir ini sering lembur. Takutnya kalau saya maksain diri, kerjaan saya bakal ga maksimal," jelasku. Semua pernyataan yang kukeluarkan memang benar adanya. Hanya saja bukan itu alasan utama mengapa aku mengambil cuti mendadak seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Pena dan Jiwa
RomanceDari judulnya mungkin kalian berpikir bahwa kisah ini akan seindah lagu-lagu yang dinyanyikan Ariana Grande atau bahkan Lana Del Rey? Bruno Mars? Ah, jangan berekspektasi tinggi karena sebetulnya ini adalah kisah yang aneh. Kisah yang tidak dirancan...