Obrolan malam

1K 137 6
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Begitu mobil tiba di pintu masuk kawasan wisata, Cendana yang duduk di belakang bersama Ezio langsung memekik riang.

Ezio ikut senang pasalnya ia sudah lama tidak jalan-jalan. Ke Taman Safari terakhir saat kecil itu juga berakhir tragedi Audrina membantu orang lain kesurupan, yang membuat Ijal minta pulang malam itu tak jadi menginap.

"Kak, kita nginep beneran apa pulang?" Ezio menyadarkan lamunan Klarisa sejak tadi.

"Nggak tau. Tanya yang punya acara," sahutnya cuek.

"Nginep, lah. Udah dipesan. Kita nginep di karavan." Darka memarkirkan mobil, ia turun sendirian karena harus membeli tiket masuk ke tempat wisata binatang.

"Kakak," panggil Ezio mendekat ke Klarisa dari tengah celah tempat duduk. "Kalian nggak--"

"Tahan omongan lo, Zi. Jangan ngaco." Kedua mata Klarisa menyipit, ia mengkode supaya Cendana tak perlu memahami situasi diusia dini, nanti saja pasti akan ia ceritakan.

"Apa dia berubah?" sambung Ezio penasaran.

"Manusia bisa aja berubah, tapi masa lalu nggak akan pernah bisa diubah. Semua yang gue lewati nggak bisa ubah keadaan, kan? Kayak balik daun pisang yang ada dua sisi berbeda."

Ezio kembali duduk bersandar, ia tak mau melanjutkan bertanya-tanya, kasihan kakaknya.

"Ibu, Bapak lama banget?" Cendana celingukan ke arah luar, sejak tadi mencari Darka.

"Lagi beli tiket masuk. Dana, nanti jangan minta apa-apa ke Bapak, ya kalau nggak ditawarin. Mau apa-apa minta sama Ibu, okey?" Klarisa tersenyum lebar.

"Ya, Bu. Tapi kalau Bapak suruh?" Kening bocah itu mengerut.

"Minta yang mahal-mahal. Bapakmu orang kaya raya," celetuk Ezio santai.

"Hus! Jangan komporin, Zi!" omel Klarisa. Cendana hanya diam, ia tak tau soal kaya raya, banyak uang atau tidak ada uang, hal itu belum ia pahami sama sekali.

Pintu mobil terbuka, Darka sudah memegang empat gelang sebagai tanda masuk lokasi juga akses ke karavan tempat mereka menginap.

"Kita lihat binatang, ya, Nak," serunya seraya menginjak pedal gas. Cendana menghadap ke jendela lagi. Klarisa justru sibuk membalas pesan singkat dari grup pengacara Hilman. Isi kepalanya masih terpusat ke kasus itu. Celah mengalahkan musuh rasanya sulit.

Klarisa tak menikmati pemandangan saat mobil berhenti sesekali atau memelan saat melewati para binatang yang dilepas bebas pada kawasan tersebut.

Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan serius tajam. Darka melirik sesekali tapi tak berani bertanya. Sedangkan Cendana dan Ezio heboh mengomentari banyak binatang.

"Cendana mau lihat panda, nggak?" tawar Darka melihat Cendana dari spion tengah.

Bocah itu diam. Ia ingat pesan Klarisa tadi. Ezio mencolek lengan Cendana seraya berlirih 'mau'.

"Mau, Pak," jawabnya pelan.

"Oke. Nanti kita ke sana ya. Cuacanya bagus, cerah, sayang kalau nggak lihat panda." Darka terus melaju pelan. Di depan mereka ada beberapa mobil lain juga bisa wisata.

Parkir kendaraan sangat luas, Darka sengaja memarkirkan mobilnya tidak di depan karavan melainkan di depan kantor informasi saja.

"Kita istirahat dulu, Cendana pasti laper. Udah jam tiga sore juga." Darka tidak membawa pakaian, tak sempat kembali ke rumah, niatnya beli saja di lokasi wisata pasti ada.

Cendana memakai tas ransel warna pink miliknya, Ezio juga. Tak lupa laptop ia bawa jaga-jaga takut bosan.

Keempatnya berjalan ke arah karavan, angin dan suasana yang terasa dingin membuat Klarisa bergidik. Lirikan Ezio dibalas tatapan serius Klarisa.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang