Time Flies Before My Closed Eyes

13 3 0
                                    

Ia tenggelam, tanpa siksaan, ditemani senyuman serupa matahari dan tawa anak-anak. Selayaknya samsara, hari-hari berulang seratus dan ribuan hari tapi tidak pernah membuatnya bosan.

Ia tenggelam, dalam kedalaman yang nyaman dan mimpi yang hangat.

Dan kenyamanan itu lenyap dalam kedipan berikutnya, seperti nafasnya yang ditarik tiba-tiba, ia tersedak.

Ia tenggelam, kali ini dalam kesakitan, seperti orang yang kehabisan nafas meronta-ronta mencari udara, daratan, cahaya—

Cahaya, cahaya, kemana kalian cahaya ku—

Ia membuka mata dari samsara, dihadapkan sebuah kekosongan, kesunyian; senyum yang tidak terlihat, tawa yang tidak terdengar, dan malam yang dingin.

"Blade, kembalilah sebelum makan malam, ya!" Namun suara itu masih menggema di ingatannya.

Blade, benar.. Itu namanya. Dan harusnya ia kembali saat makan malam. Semua itu terjadi dalam mimpinya.

Apa yang terjadi?

Blade melihat bulan yang menggantung di angkasa, cahayanya menggelap saat awan menutupinya dengan egois.

Ia melihat ke bawah, menggerakkan jari satu demi satu. Semuanya kaku dan nyeri saat ditekuk, memberinya fleksibilitas terbatas. Ia menggerakkannya lebih perlahan sekarang, bergantian dengan pergelangan tangannya, lengannya, lehernya. Seluruh tubuhnya kaku dan nyeri.

Ia menaruh tangan itu di dadanya, merabanya sedikit sampai ia menarik tali dari sebuah kalung. Kalungnya masih ada, syukurlah. Ia meraba-raba liontin batu gelap yang di cengkeraman seperti cakar. Batu itu berdenyut dengan cahaya merah sesaat.

Aku terbangun. Apa yang terjadi?

Pertanyaan sama bergulir dibenaknya. Bersamaan Blade mencoba berdiri dan sejenak goyah, sebelum berhasil berdiri di atas kedua kaki dengan kokoh.

Angin kencang menerpa tubuhnya, seketika membuatnya menggigil. Ia baru menyadari pakaiannya terlalu compang-camping untuk disebut pakaian apalagi untuk menangkal dingin. Ia butuh yang baru.

Pikirkan selama berjalan.

Finalnya dalam benaknya sendiri dan memulai langkah pertama dari kebingungan atas matanya yang terbuka. Blade terbangun dari samsara-nya yang indah, yang merenggut semua mimpinya, memaksa jiwanya yang "mati" untuk bangkit kembali. Siapapun yang melakukan ini akan ia pastikan untuk membayar harganya.

Lekuk-lekuk hutan itu telah berubah dari apa yang Blade ingat, banyak berubah. Entah sudah ratusan atau ribuan tahun sejak ia "meninggal", karena yang Blade ingat bahwa dengan langkahnya saat ini ia seharusnya telah memasuki sebuah area Desa, tetapi bahkan sisa-sisanya pun tidak terlihat.

Menemukan jalan setapak akhirnya membawa kelegaan. Bulan lebih cemerlang saat awan-awan membiarkannya untuk bersinar menerangi jalan. Bahkan bulan tak seperti yang ia ingat, tidak memiliki warna, hanya putih; ia menyukai merah pada bulan, sekarang tampaknya ia tidak akan pernah melihatnya lagi.

Malam bulan hitam selalu gelap dan dingin, Blade tidak menyukainya, sosok-sosok yang bersembunyi di kegelapan biasa lebih ganas, juga sosok yang bersemayam di dalam jiwanya ikut bergejolak. Tapi ia sekarang tidak akan menghadapinya lagi.. Ia harap.

Malam semakin dingin, ia harus segera mendapatkan pakaian baru. Bagaimana caranya? Ia akan——

"AAAA...!!"

—merampok mungkin. Merampok dari perampok apakah masih bisa disebut merampok? Karena mata merah keemasannya melihat bandit yang sedang mengancam anak kecil di sisi lain jalannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Waves of Ancient DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang