Ruang tamu Aria sore itu benar-benar kacau. Bungkus-bungkus snack berserakan di atas meja, kursi, bahkan lantai. Plastik keripik, bungkus permen, dan botol soda kosong tergeletak tanpa ada tanda-tanda mereka akan dipindahkan ke tempat sampah.
Sementara itu, Evan, dalang utama di balik kekacauan tersebut, duduk santai di sofa dengan posisi rebahan sambil satu tangannya nyelip di hidung, ngupil tanpa rasa bersalah. Suara TV menyala di latar, menampilkan acara yang tidak benar-benar diperhatikan.
"Bisakah lo enggak anggap rumah gue kayak rumah lo sendiri?" tanya Aria.
Mata Aria spontan berkedut, tanda tingkat kesabarannya sudah menipis. Dia langsung mendekati tumpukan sampah itu, mengambil kantong plastik dan mulai memungut satu per satu bungkus snack yang berserakan.
Evan hanya mengangkat bahu, masih dengan ekspresi cuek. "Enggak bisa," jawabnya santai, kemudian dengan satu tangan tetap sibuk di hidungnya, dia mengambil remote dan mengganti channel TV tanpa memperhatikan tumpukan sampah yang Aria coba rapikan.
Aria hanya mendesah panjang. Ini bukan pertama kalinya Evan berbuat seenaknya di rumahnya. Tapi kali ini, rasa kesalnya hampir mencapai puncak.
"Oh iya, Ar," lanjut Evan, kali ini menoleh sedikit ke arah Aria yang masih sibuk memasukkan sampah-sampah ke dalam plastik.
"Untung banget lo enggak pacaran sama si Gavin, kalau enggak, nasib lo pasti kayak Lila. Suka ngomel-ngomel tiap hari. Kasian banget sih, kayaknya dia udah tekanan batin pacaran sama Gavin." Evan tertawa kecil, sangat puas dengan komentarnya sendiri.
Aria yang mendengar itu tiba-tiba menghentikan gerakannya. Tangannya yang tadinya sibuk merapikan bungkus-bungkus snack terhenti di udara, matanya menatap lurus ke arah Evan yang masih rebahan dengan sikap tak acuh.
"Karma tuh buat mereka," Evan tertawa lebih keras lagi, menikmati ceritanya sendiri.
"Gavin dulu deketin lo bukan karena dia beneran suka, tapi cuma buat cari celah biar bisa lebih deket sama Lila. Jujur, gue enggak kaget sih. Dari awal aja kelihatan banget kalau mereka berdua enggak bakal cocok,"
Tawa Evan semakin terdengar menyebalkan di telinga Aria. Sekarang dia berdiri tegak, melemparkan kantong plastik yang belum sempat diikat, menumpahkan sebagian isinya.
Bungkus-bungkus snack itu terbang ke udara seperti kelopak bunga dalam adegan film romantis, tapi kali ini dengan aroma campuran keripik, soda, dan permen lengket yang jatuh perlahan ke lantai. Evan hanya melirik sekilas tanpa memperhatikan akibat dari aksinya tadi.
"Enggak usah bahas masa lalu, gue kesel dengernya," ketus Aria, suaranya penuh ketegasan dan kesal.
"Gue udah bilang, gue enggak mau ngulang cerita yang udah lewat. Lo terus-terusan ngomongin Gavin dan Lila, bikin gue makin stress. Ini udah nggak ada hubungannya lagi sama gue. Sekarang fokus aja sama yang ada di depan lo, jangan terus ngulik-ngulik hal yang udah lewat. Gue butuh ketenangan, bukan drama yang udah selesai."
***
Sekolah pagi itu terasa monoton bagi Aria. Setiap langkahnya di koridor yang penuh sesak seperti menyentuh batas antara dunia nyata dan dunia yang hampa.
Suara riuh dari teman-temannya, tawaan, dan obrolan yang memenuhi udara seolah-olah tidak sampai ke telinganya. Meskipun banyak orang di sekelilingnya, hatinya merasa seperti terisolasi di tengah keramaian.
Tiba-tiba, suara ceria Levi memecah kesunyian sekelilingnya. "Ari-ari!" panggil Levi dengan nada penuh semangat.
Suara itu seperti lonceng di tengah kesunyian, namun bagi Aria, panggilan itu terasa seperti kerikil di sepatu yang mengganggu setiap langkah.