Untitled Part 2

2 1 0
                                    

Suasana kantin saat itu sangat ramai. Suara gelak tawa dan obrolan berbagai kelompok siswa memenuhi udara, sementara aroma makanan dari berbagai stand tercium di seluruh ruangan. Levi duduk  dengan ekspresi serius, matanya fokus pada Evan yang duduk di seberangnya dengan wajah tengil khasnya.

"Aria mulai sadar kalau lo tuh ada rasa sama dia," ucap Evan berusaha menjaga penampilannya tetap santai, meskipun nada suaranya terdengar penuh keseriusan.

"But the problem is, she has trust issues. Dia mungkin kelihatan biasa aja, tapi untuk mulai lagi dengan cowok, dia pasti bakal mikir dua kali. Meskipun dia deket sama lo, dia mungkin nggak pernah ngerasa lo serius deketin dia."

Levi mengangguk, menatap Evan dengan tatapan serius namun penuh pengertian. Dia sudah lama menyadari betapa rumitnya situasi Aria, terutama setelah mendengar cerita lama tentang hubungan antara Aria, Gavin, dan Lila. 

Levi tahu betul bahwa pengalaman-pengalaman tersebut meninggalkan bekas yang mendalam pada Aria, yang sekarang membuatnya sangat hati-hati dan skeptis terhadap perhatian dari orang baru.

"Gue ngerti," kata Levi dengan suara yang tenang dan penuh ketulusan. Dia mengatur ulang posisinya di kursi.

"Makanya gue berusaha deketin dia pelan-pelan. Gue enggak mau memaksa dia buat ngerasa sesuatu yang belum dia rasakan. Yang penting bagi gue adalah dia mulai sadar kalau gue punya perasaan yang serius sama dia."

Levi tersenyum lebar, menambahkan dengan nada penuh harapan. "Dan tetep aja ya, gue butuh bantuan lo supaya bisa lebih dekat sama Aria. Lo kan sepupunya, jadi lo pasti bisa bantu gue supaya dia lebih merasa nyaman dan terbuka. Gue tahu dia mungkin butuh waktu, but your support could make the process smoother."

Evan, yang sedang menikmati makanannya, melirik Levi dengan gaya khasnya yang penuh canda. Dia mengangkat alis, ekspresinya mencerminkan sikap skeptis yang seringkali membuat orang kesal.

"Itu mah bisa diatur," ucap Evan dengan cengiran lebar yang mengisyaratkan bahwa dia setuju dengan permintaan Levi. "Gue bakal bantu, tapi lo juga harus sabar. Enggak ada jalan pintas buat bikin dia langsung percaya atau ngerasa nyaman dengan lo. Everything takes time."

***

Di parkiran yang ramai dengan suara kendaraan, Evan terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya saat melihat Levi dari kejauhan. Levi membalas dengan memberi kode jempol. Suasana parkiran yang sibuk dan bising menambah kesan bahwa obrolan mereka harus cepat dan efisien.

Evan mendekati Aria dengan ekspresi yang berusaha terlihat senatural mungkin, "Ar, kayaknya lo pulang sendiri deh. Soalnya gue tiba-tiba ada urusan sama tim basket," ucapnya sambil memalingkan pandangannya seolah ingin menyembunyikan kegugupannya.

"Oh ya udah," jawab Aria dengan santainya, sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Gue minta Kak Agas jemput gue."

"Eh, engga usah," kata Evan cepat, menghentikan Aria sebelum dia sempat menghubungi Kak Agas. "Gue udah bilang ke Levi buat anterin lo. Soalnya dia juga ada urusan di sekitar perumahan kita."

Belum sempat Aria menjawab atau mengajukan protes, Evan sudah cepat-cepat pergi, meninggalkan Aria yang masih terlihat sedikit bingung.

Sementara itu, Levi berdiri di dekat motornya, menunggu dengan senyum tipis di wajahnya, siap untuk melanjutkan rencana mereka.

***

Aria berdiri canggung di samping motor Levi, tampak bingung dan gelisah. Motor Levi, yang terlihat mengkilap dan sporty, berdiri di sana dengan gagahnya, tapi bagi Aria, motor itu lebih seperti monumen ketidaknyamanan. 

Levi, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang sedikit kikuk, merasa bingung tentang apa yang harus dilakukan.

"Em, gue pulang sendiri aja ya," ucap Aria dengan suara pelan sambil celingukan, matanya sesekali menatap ke arah jalan seperti mencari jalan keluar dari situasi yang memalukan ini. 

Ia menggaruk tengkuknya dengan gelisah, seolah-olah tindakan itu bisa menghilangkan kebingungan yang menyelimuti pikirannya.

Levi menatap Aria dengan raut wajah penuh tanda tanya. "Kenapa engga mau pulang bareng sama gue? Gue engga mungkin apa-apain lo kok," tanyanya, berusaha terdengar sabar dan pengertian. 

Meski dia merasa sedikit bingung, dia mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

Aria cepat-cepat menjawab, "Bukan gitu," serunya, suaranya sedikit bergetar karena panik.

"Sebenarnya, motor lo itu tinggi banget buat gue yang pendek ini. Gue bukan cuma takut kalau gue bakal susah naik atau turun dari motor, tapi gue juga khawatir kalau gue bakal ngerasa sakit punggung atau encok setelahnya. Makanya, gue lebih milih buat pulang sendiri daripada harus merasakan ketidaknyamanan itu."

Levi mengangguk-angguk sambil mencoba menahan tawa. Dalam hati, dia berpikir, "Gue pikir lo enggak mau pulang sama gue, bikin overthinking aja." 

Levi memikirkan betapa canggungnya situasi ini dan bagaimana Aria sebenarnya hanya merasa tidak nyaman dengan motor tinggi miliknya. Levi merasa kasihan dan juga geli melihat betapa seriusnya Aria berusaha menjelaskan alasan-alasannya.

***

Di tengah perjalanan pulang, Aria duduk di belakang Levi, merasakan getaran motor yang terasa lebih lembut dari biasanya. Mereka melaju dengan kecepatan yang jauh lebih pelan dibandingkan dengan kebiasaan Levi yang dikenal suka mengebut. 

Suara mesin motor yang biasanya menggema kini terdengar seperti bisikan lembut, seolah motor itu berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan Aria.

"Lev, lo bawa motornya pelan banget, deh," kata Aria sambil menatap jalanan yang terhampar di depan mereka. 

"Biasanya lo ngebut, kan? Gue denger-dengar lo itu muridnya Rosi, terus ikut balapan motor juga. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi kayak gini?"

Levi yang sedang fokus mengemudikan motor merasa terkejut dengan pertanyaan Aria. Dia hampir tidak bisa menahan senyum, tetapi dia berusaha mempertahankan ekspresi seriusnya. 

"Eh, iya, gue memang suka ngebut," jawab Levi, berusaha terdengar casual. "Tapi kali ini... gue pengen lo merasa nyaman aja, jadi gue bawa motornya pelan."

Aria menoleh ke belakang dan melihat Levi dengan tatapan bingung. "Serius? Kenapa lo jadi super hati-hati gini? Gue pikir lo bakal bawa motor kayak balapan."

Levi mencoba menyembunyikan senyumnya yang mulai muncul, berusaha keras untuk menjaga ekspresi seriusnya. 

"Gue lagi bawa lo," kata Levi sambil membenarkan spion dan menyesuaikan posisinya agar bisa melihat wajah Aria di cermin. "Jadi, enggak bisa ngebut-ngebut. Takut lo kebawa angin."

Aria terus memandang jalanan yang melaju lambat di depan mereka sambil menikmati angin sore yang sejuk. Senyumnya mulai mengembang, dan ekspresi wajahnya yang tadinya serius mulai berubah menjadi lebih santai. 

Ia merasakan ritme pelan motor Levi, yang seolah-olah membawanya dalam perjalanan yang lembut dan tenang.

"Gue enggak segitunya, loh, yang bisa terbang gara-gara lo bawa motornya pelan. Lagian, gue juga udah biasa. Si Evan kalau bawa motor kayak orang kesetanan," katanya sambil melirik Levi dengan ekspresi setengah geli.

Aria menatap kembali ke depan, memandangi jalanan yang bergerak lambat. 

"Jadi, menurut lo, gue bisa terbang cuma gara-gara lo bawa motor pelan? Gue sih udah pernah ngerasain bawa motor di kecepatan yang bikin gue ngerasa kayak lagi naik roller coaster. Gue percaya diri aja, enggak bakal terbang atau apa. Lagian, pengalaman gue sama Evan yang bawa motor kayak orang gila itu bikin gue jadi terbiasa. Jadi, lo enggak usah khawatir, deh."

Levi hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan Aria. Dia merasa lega dan bahagia karena Aria mulai membuka diri dan mengobrol lebih banyak dengannya.

"Gue appreciate banget niat lo buat hati-hati, tapi serius deh, gue bisa handle kecepatan kok. Lo enggak perlu ngebawa motor kayak siput cuma buat bikin gue nyaman. Lagi pula, kalau lo ngebut, gue juga bisa ikut teriak-teriak dari belakang, kayak orang yang lagi naik wahana seru. Gitu kan malah seru!" ucap Aria.

Levi terus melaju dengan kecepatan yang nyaman sambil sesekali melirik ke arah Aria, menikmati suasana yang mulai terasa lebih akrab. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah mereka, dan Levi merasa seakan-akan hari ini adalah hari yang sempurna. Setidaknya, Aria sekarang mau mengobrol lebih banyak dengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lucu yaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang