1. Keluarga sempurna?

124 49 58
                                    

"Gue bisa menulis kisah tentang keluarga yang sempurna, tapi itu nggak  akan pernah jadi kisah gue sendiri."

Di balik layar laptopnya, Elena mengetik dengan cepat. Kata-kata mengalir deras, membentuk kisah tentang seorang gadis yang punya keluarga harmonis—ayah yang perhatian, ibu yang penuh kasih, dan saudara-saudara yang saling mendukung. Di dunia novel, Elena bisa menciptakan kehidupan seperti itu—hidup yang tidak pernah dia miliki.

Tapi suara dari lantai bawah menghentikan tangannya.

"Aku tidak tahan lagi!" teriak ibunya, suaranya pecah, penuh dengan emosi. "Kau selalu pergi! Kau tidak peduli dengan apa yang terjadi di rumah ini!"

Elena menutup mata, mencoba memblokir suara itu. Ayahnya membalas, dingin seperti biasanya. "Aku bekerja untuk kita semua, jangan berani-berani menuduhku yang bukan-bukan."

Mereka bertengkar lagi. Elena meremas tangannya, menahan napas, berharap itu segera berakhir, tapi tahu pasti itu tidak akan terjadi. Sudah bertahun-tahun pertengkaran ini menjadi bagian dari rutinitas malamnya, seolah-olah tidak ada lagi ruang untuk ketenangan di rumah ini.

Dia menarik napas panjang dan kembali menatap layar. Dalam ceritanya, keluarganya bahagia. Mereka tersenyum, bercanda, saling mendukung.

"Kau tahu, aku sudah lelah dengan semua ini!" Ibunya berteriak lagi. "Mungkin lebih baik kita berpisah!"

Tangan Elena gemetar di atas keyboard. Kata-kata di layar mulai buram karena air mata yang menggenang di matanya. Dia menghapusnya cepat-cepat, tidak ingin perasaan aslinya menyusup ke dalam dunia yang dia ciptakan.

Pintu di lantai bawah dibanting dengan keras, menggetarkan dinding. Ayahnya pergi, seperti biasa, tanpa sepatah kata pun untuk menghentikan perdebatan itu. Sementara ibunya menangis di ruang tamu. Semua suara itu terus menghantam Elena seperti palu yang menghancurkan setiap harapan kecil yang tersisa.

Elena memutuskan untuk berhenti menulis. Ia menutup laptop dengan pelan dan menarik napas panjang. Tak ada gunanya malam ini. Sama seperti malam-malam lainnya, pikirannya terlalu kacau untuk menyelesaikan apa pun.

"Kapan semua ini akan berakhir?" bisik Elena pada dirinya sendiri, meski ia tahu tidak akan ada jawaban.

Ponselnya bergetar di samping laptop, sebuah pesan masuk dari temannya, Asya.

"Hey, lu lagi nulis apa? Gue nggak sabar baca novel lu yang baru. lu selalu bisa bikin gue merasa lebih baik dengan ceritanya. Serius, kayaknya hidup lu sempurna banget ya!"

Elena menatap pesan itu dengan senyum pahit. Hidup sempurna? Jika mereka tahu.

Dengan cepat, ia membalas:
"Iya, nanti gue kirim deh. Lagi nulis tentang keluarga yang bahagia."

Lalu dia letakkan ponsel dan kembali menatap layar kosong di depannya. Di dunia novelnya, ia bisa membuat segalanya lebih baik. Di sini, dia bisa menciptakan keluarga yang tidak pernah hancur.

Elena hanya bisa terdiam merenungi semua kejadian yang barusan terjadi.

Hujan deras menghantam jendela kamarnya, menciptakan ritme yang tak teratur namun menenangkan. Di sudut kamar yang redup, Elena terduduk, lutut ditekuk di depan dada, wajahnya tertutup oleh tangannya yang gemetar. Air mata mengalir deras, seakan berlomba dengan tetesan hujan di luar. Suara isak tangisnya samar-samar, hampir tersamarkan oleh gemuruh petir yang menyambar di kejauhan. Kamar terasa sempit, seolah-olah dinding-dinding itu juga turut menghimpit beban yang ia pendam.

Tirai tipis yang tertiup angin membawa aroma tanah basah, namun tak mampu mengurangi rasa sesak yang menyesakkan dadanya. Setiap tetes air yang jatuh dari matanya bercampur dengan dinginnya ruangan, menciptakan kehampaan yang nyaris menyakitkan. Hujan di luar terasa seperti cermin dari kekacauan di dalam dirinya—tak terkontrol, penuh luapan emosi yang tak tertahankan.

"Sampai kapan keluarga gue seperti ini? Apa ayah dan ibu nggak mau merasakan kebahagiaan dari rumah sendiri? Apa mereka menganggap ini bukan rumah? tanya Elena pada diri sendiri dengan air mata yang tidak berhenti membasahi pipi nya.

" Udah Elena pokoknya gue harus kuat, gue ga boleh nangis lagi" Ucap Elena menguatkan pada diri nya sendiri dan sekarang ia lebih memilih melanjutkan menulis novel nya.

Beberapa menit kemudian ketika Elena sedang asyik menulis.Pintu kamar terbuka dengan keras membuat suasana kamar yang tenang jadi hancur seketika. Di dalam kamar yang remang, Elena duduk di depan meja kecil, tangannya sibuk menari di atas keyboard laptop. Wajahnya tampak serius, terpaku pada layar. la tak menyadari kehadiran ibunya yang berdiri di ambang pintu dengan napas terengah.

"Ibu sudah bilang, jangan buang-buang waktu untuk hal-hal nggak berguna seperti ini!" suara ibunya pecah, membuat si Elena sangat terkejut tangannya langsung berhenti mengetik.

"Ibu, aku sedang menulis," jawabnya pelan, meski ia tahu jawabannya tidak akan diterima.

Wajah ibunya berubah lebih muram, mendekat dengan langkah berat. "Menulis? Menulis itu nggak ada gunanya! Apa kamu nggak dengar, ibu sudah beberapa kali bilang jangan menulis novel yang ga berguna itu!" seru ibunya, emosinya sudah tak bisa ditahan lagi.

Elena hanya bisa diam, tubuhnya gemetar ketakutan. Sebelum ia sempat bicara lebih banyak, tangan ibunya terangkat tinggi dan mendarat keras di lengannya. Suara tamparan menggema di dalam kamar, diikuti oleh tangisan teredam Elena yang berusaha menahan sakit.

"Buat apa menulis?! Kamu pikir itu bisa mengubah hidupmu?!" Ibunya melanjutkan serangannya, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pukulan-pukulan kasar.

Tangisan Elena kini tak lagi bisa disembunyikan. Hatinya terluka lebih dalam daripada tubuhnya, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi karena harapannya untuk dimengerti hancur di hadapan orang yang seharusnya melindungi dan mendukungnya.

"Kenapa nangis?! Gitu aja nangis lemah banget jadi
anak"

"Elena kamu sebagai anak harus mengerti bagaimana kondisi keluarga apa kamu ga liat tadi ayah mu ngelakuin apa sama ibu?" Lirih ibu dengan bibir yang bergetar dan mata yang sudah berkaca kaca membuat Elena merasa bersalah.

Elena yang menyadari ibu nya sudah meneteskan air mata ia langsung menghampiri nya dan langsung memeluk erat tubuh ibu nya itu.

Ibu yang sadar Elena langsung memeluk tubuh nya langsung mendorong Elena sekecencang mungkin sampai Elena terjatuh di lantai dan kepala nya terbentur di meja membuat kepala nya berdarah.

Elena berdesis kesakitan karna benturan nya cukup keras sampai membuat kepalanya berdarah.

"Diam kamu gausah peluk-peluk ibu seperti itu! Ibu ga butuh pelukan dari anak seperti kamu!" Sentak ibu dengan langkah menuju pintu dan langsung keluar dari kamar Elena.

Elena yang kesakitan dengan kepalanya langsung merasa pusing, tapi ia langsung berdiri membawa kotak obat nya dan langsung mengobati luka itu.

"Lebih baik badan aku luka semua bu, daripada batin aku yang luka karna luka di badan ada obat nya dan bisa sembuh, tapi bagaimana dengan luka batin? Sama sekali tidak ada obat nya dan kemungkinan tidak akan sembuh apalagi yang memiliki trauma dari masa kecilnya" Ujar Elena sambil menatap foto masa kecilnya yang penuh dengan trauma.

Apa kalian mempunyai trauma dari masa kecil sama seperti Elena?

Mau tau kelanjutannya nya gimana? Apakah Elena akan terus menulis cerita nya demi impiannya? Atau malah berhenti menulis?

Kalo mau tau kelanjutannya vote dan komen dulu ya, terimakasih sudah membaca,vote dan komen cerita ku

Love you all💗

Tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang