"Dia berhenti berjuang hanya perasaan nya ragu kepadamu meskipun awal nya dia yakin" ucap Zarel ketika ia melihat Nesa menatap rumah mantan nya. Nesa menoleh dan masih terdiam, gemuruh hatinya masih mengusik hingga kini sudah sebulan mereka menikah tetapi hati Nesa masih belum dapat menerima takdir ini. Mereka berencana kembali ke kota dan tinggal di ruma Buh orang tua Zarel. Nesa masih melamun memikirkan kerumitan yang terjadi dalam hidupnya, dalam waktu singkat dia malah menjadi istri orang, meskipun memang sudah merencanakan pernikahan tetapi dia tak menyangka akan menikah dengan pria yang tak di kenali nya sama sekali. Setelah melewati rumah mantan nya dia menatap lurus ke depan, sementara Zarel yang tengah mengemudi mobilnya kembali diam karena ucapannya tadi gak di tanggapi Nesa sama sekali.
Setibanya di rumah orang tuanya, seluruh keluarga telah menyambut mereka, Nesa langsung menuju ke kamar setelah bersalaman dengan keluarga, sementara Zarel masih berbincang dengan saudara ipar-iparnya.
"Minah satu itu tak habis-habis nak bekurung aje" ucap kak Baidah mengomentari perangai adik bungsunya
"Hai kamu ni pun satu, dah tau adek kamu itu perjalanan jauh, penat Kot" jawab Ayahnya, kak Baidah hanya menjebik mendengar jawaban ayahnya
"Biasalah anak bungsu,, di manje sangat same ayah" kak Zura ikut berkomentar. Sebagai anak tunggal Zarel merasa keluarga Nessa sangat ramai.
"Abang pada kemana ayah?" Tanya Zarel karena tak ia temukan ipar-iparnya yang laki-laki
"Biasalah,,, ada yg Kat kedai, ada jaga toko, ada juga yg berladang. Ada juga yang tak dapat balik karena pekerjaan nya kan ASN. Apalagi abang Khairi kamu susah nak balik karena kerjanya dokter kan, kalau cuti pun tak lama 3 hari saja." Jelas ayah mertuanya
"Ni Zarel minum dulu, kamu pun letihkan, dah ini istirahat aje jangan layan sangat orang tua ni, tak habis-habis bawa berbincang" ujar ibu mertuanya membawa minuman dan kue muleh
"Iyelah ibu" jawab Zarel sambil tersenyum. Ibu mertuanya ini tak banyak bicara hanya seperlunya saja."Inilah ayah mau beri nasihat pernikahan sedikit je, betapa beratnya badai yg harus dilalui setelah pernikahan, dan ayah harap sebagai suami kamu juga sering mengingatkan ke isteri kalau menikah itu bukan sekedar hidup bersama dan senang-senang saje, tapi juga tentang bagaimana menyelesaikan masalah bersama-sama, dengan berdasarkan pada segala aturan yg ditetapkan Allah SWT tentunya, justru potensinya bakalan lebih banyak susahnya daripada senangnya, tapi itu kembali ke masing-masing kita, selama kita ikhlas dan sabar insyaaAllah tak akanlah seberat itu" masih terngiang pesan ayah Zarel selepas anaknya menikah, kini keputusan tersulit bagi Zarel untuk mengatakan yang sebenarnya.
Menurut Zarel Nesa itu gadis pendiam dan susah di dekati, pada ahli keluarganya saja dia sangat tertutup apatah lagi pada Zarel yang baru ia temui. Sambil melihat tingginya pohon kelapa Zarel menimbang-nimbang apakah ia bisa memanjatnya, dia tak pernah memanjat pohon meskipun ia lelaki masa kecilnya lebih suka dihabiskan dengan belajar dan membaca buku, setiap orang tuanya pulang kampung Zarel tak pernah mau ikut karena menurutnya di kampung tak best, hanya banyak pepohonan kelapa dan sawah-sawah lalu kambing, sapi, bebek, apalagi kalau ketemu angsa, menurut Zarel hewan yang satu itu merupakan preman kampung karena sukanya menyosor, janganlah lewat di depannya akan dikejar, hewan yang menggelikan menurut Zarel karena hobby nya nyosor, tapi sekarang ia malah lebih sering pulang kampung semenjak berisitrikan gadis kampung itu, Zarel mulai jengkel jika mengingat selama tinggal bersama ia seperti tinggal dengan patung.
"Hai... Apa asyik di pandang saja, kalau mau jolok lah" tiba-tiba ayah mertuanya datang menghampiri Zarel
"Saya tak pandai memanjat, apalagi pohon setinggi ini" ucap Zarel sungkan
"Kenapa mesti manjat, jolok saja. Ada itu suluh bambu yg panjang. Orang sini biasanya pakai pengait dari bambu untuk ambil kelapa, ayahpun tak larat dan manjat" mertuanya menunjuk pengait panjang di samping kandang ayam
"Saya tak taupun ayah bisa pakai alat macam ni" Zarel tersenyum canggung
"Ayah maklumlah, Zarel dah biasa di kota kalau nak kelapa muda pun tinggal belikan tak susah nak jolok pakai galah macam ini" seloroh mertuanya. Zarel berusaha mengambil kelapa muda tapi selalu gagal, Bambu yang dipegangnya sangat berat dan sering meleset dari buah kelapa, ayah mertuanya yang melihat tertawa saja.
"Zarel... Zarel... Keluarkanlah tenaga kamu lagi tu"
"Baik ayah" jawab Zarel tak patah semangat masih tetap berusaha mengait kelapa tersebut, setelah di usahakan berkali-kali akhirnya jatuh juga kelapa muda yg Zarel kait
"Alhamdulillah... Begitulah menantu ayah, kuat dan berdedikasi tinggi" sambil mengambil kelapa muda tersebut lalu membawanya ke belakang rumah.
"Amboi sampai berpeluh-peluh Zarel kait kelapa" ujar kak Bidah tertawa
"Hai,, kerja keras ni Kot, tak mungkinlah tak berpeluh" jawab abang Nazif baru pulang dari ladang membawa sayur-sayuran.
"Abang ling kupas kelapa ni, dah tu kasih Zubaidah biar di kasih es" perintah ayahnya. Nessa melihat mereka di pintu dapur
"Suruh Nesa saja ayah, laki die yg nak makan kelapa muda" komentar kak Bidah
"Akak yg tolong ape salah Nye" elak Nessa
"Hai... Berpahala tau hidangkan minum untuk suami, kan suami adek" potong Abang Nazif
"Iyelah... Sini yg dah di kupas" akhirnya Nessa mengalah mengambil kelapa untuk dicampur dengan es. Zarel hanya diam memperhatikan, diantara seluruh keluarga istrinya hanya Nessa yg beda sendiri, saudara-saudaranya berkulit kuning Langsat bahkan ada yang hitam manis tetapi mereka ramah, murah senyum sementara Nessa berkulit putih, bermata sipit dan bodynya langsing seperti artis wanita Mandarin, sifatnya terlalu pendiam dan sulit di tebak.
"Ini Abang es kelapa muda nya" Zarel terhenyak dari lamunannya sekilas tadi
"Terimakasih" Zarel meneguk es kelapa tersebut, lalu Nessa membawa es yg di gelas lainnya ke dalam rumah untuk di bagikan ke orang rumah.Seperti biasa tak ada orang rumah yang perasan jika Nessa tak terlalu memperdulikan Zarel, mereka bicara hanya sekedarnya dan selayaknya suami istri, jika di perhatikan Zarel sangat ramah terhadap keluarga Nessa tetapi Nessa tak perduli dan tak ambil pusing, tujuannya kali ini bertemu dengan Azmi, lelaki yang sepatutnya menjadi suaminya, apakan daya hanya sebatas suami 15 menit saja. Jika di ikutkan hukum Islam seharusnya Nessa tidak boleh menikah dengan Zarel tetapi mereka mengikuti hukum adat, yang mengatakan janji tetaplah sebuah hutang yang harus di tepati jadi menurut orang tetua di kampungnya pernikahan dia dengan Azmi takkan terwujud, jika tetap ingin menyatu maka yg tertimpa bala satu kampung karena tak memberi mereka peringatan.
"Abang Azmi... Dah seminggu Abang tak hiraukan Aen, bahkan sms Aen tak satupun Abang replay, ape ni bang? Aen tak suka Abang jadi macam ni" rutuk Nessa saat mencegat Azmi yg akan pergi ke ladang
"Maaf lah Aen,,, Abang rase tak elok jika kita berbincang macam ni, sebab Aen dah jadi bini orang, perlu jaga maruah keluarga Aen" lirih Azmi melihat tangan Aen yg menahan motornya, dan hatinya semakin teriris melihat cincin di jari manis Aen
"Aen,,, tak tau apa yg dah jadi bang, Aen rasa serba salah. Kenapa Abang tak memperjuangkan cinta kita?"
"Biarlah,,, ayah Aen yg akan menjelaskan, Abang redha akan takdir Abang, permisi Aen,,, Assalamualaikum" pamit Azmi berlalu dari hadapan Nessa yg menatap berlinangan air mata.
Nessa berlari menuju ke rumah, tak ia perdulikan siapapun disana bahkan Nessa langsung masuk ke kamar merebahkan diri di atas kasur terisak menahan sesak karena kisah asmaranya yg telah kandas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Istri Pilihan
Lãng mạnDingin memiliki banyak cerita, kebencian dan kesukaan yang masih menjadi misteri Salju itu putih, begitu pula aku memaknai cinta ia akan tetap selalu putih meski kau tak pernah mengerti Musim semi akan terganti dengan musim panas begitu juga musim p...