1. Delapan Belas Melibas

16 2 1
                                    

Dua windu dua tahun. Pencapaian spektakuler macam apa yang perlu orang normal raih? Gadis itu menerawang koleksi kaktus taman mininya dari bangku teras. Sabtu pagi ini gerimis telah menggerutu pada atap. Tapi selagi kopi dinginnya telah membentuk es halus. Ia tak sudi bergumul lagi pada selimut. Biar ia berlagak menghadang kalut.

Gadis itu menggosok tangannya, mengusir dingin yang menguar. Ia menutup sketchbook yang ia dekami setengah jam terakhir, gadis dengan rambut sebahu bergelombang itu menghadirkan orang fiksi dengan sayap atau tanduk dari sana, sebagai pengisi celah sunyinya.

"Es lagi? Cuaca apa nggak ngefek ke kamu, Wir?" tanya seorang wanita jangkung yang ikut duduk di sebelah Wira—adiknya satu-satunya.

"Ngarang. Manusia super aja masih banyak yang basah pas hujan." Wira menenggak es kopi dari botolnya, selagi Kakaknya mengeratkan jaket tebalnya, mendekap diri sendiri. "Lain waktu, Kakak coba sendiri, siapa tau kejebak juga."

"Mau tinggal 1 opsi minuman, nggak lain kopi. Kak Liv lebih milih mati kehausan, Wir. Kopi nggak seharusnya dilegalkan." Wah, Liv ingin mengadili bagaimana Wira bernapas? Kopi itu degup.

"Protes sana sama Petinggi Kota Nirkhayal." "Kebun bagian kiri penuh sama wortel Kakak."

"Kak Liv lagi cari olahan wortel mana lagi yang perlu Kakak coba tau, Wir. Kamu nanti ikut ngevlog buat review ya?"

"Tumben nggak nanya semalem mimpi apa?"

"Kalau Kakak mau cerita, biar inisiasi sendiri."

"Kak Liv mimpi kamu nangis di kandang burung, Wir, semalem."

"Mana muat Kak? Akunya yang jadi mini atau kurungannya yang cosplay jadi raksasa?"

"Yang kedua deh kayaknya. Soalnya pas Kakak berusaha bukain pintu kandang, Kakak hadap-hadapanan kan sama kamu."

Wira bergidik mendengarnya. "Biarin aja sih Kak, gak guna juga, cuma mimpi."

"Siapa tau itu kenyataan lain di samping versi momen yang kita jalani sekarang, Wir?"

"Bangun Kak, konsep parallel universe cuma hipotesis konyol buat orang yang selalu pengen lari. Kurang tangguh."

"Lari ke mana?"

"Ke mana aja, asal lari dari eksistensi diri."

"Apa Kak Liv masih nggak cukup mengusahakan yang terlayak buat kamu, Wir? Jangan sampai Bapak Ibu dengar omongan kamu tadi, mereka bisa kecewa."

"Kalian gak pantas kecewa kok. Aku cuma lagi maki diri sendiri. Kadang sedikit refleksi lagi-lagi jadi sesi tamparan konsekuensi sesal."

"Salah pilihan sih umum banget Wir. Tapi mau mengakui sikap impulsif, itu mirip menahan porsi makan untuk ego."

Wira tersenyum tipis. "Apa ada yang belum selesai yang buat Kakak menyesal dan pengen ngulang lagi?"

"Kalau diulang, gimana sama yang udah ada di Kakak sekarang, Wir? Itu bukan hasil juga? Kamu ingin Kak Liv buang perjuangan Kakak buat iming-iming peluang lain yang mungkin aja menjatuhkan puncak yang Kakak bangun?" 

"Malah balik nanya." Wira mendengus. "Sederhana kok, apa Kakak punya momen yang buat Kakak mikir ini pasti sesal paling melekat yang bakal bertengger."

"Nggak ada sih Wir. Mengeluh sama yang udah lewat itu buang-buang tenaga. Terus sekarang mau dibentuk apa kalau fokus acakadut?"

"Sekarang itu diukur berapa lama, Kak? 5 menit, 2 detik?"

"Mungkin setiap beberapa rentang waktu yang kabur, lalu sekarang bekerja seperti mantra pendukung kalau kamu merasa nyata saat ini."

"Saat ini sebagai penerkait kesadaran?"

"Kenapa jadi masuk topik ini Wir? PR kamu gimana, selesai?"

"Udah. Toko Amarylis belum bangkrut, Kak?"

"Pasokkan kopimu sudah sanggup cari sendirikah? Masih Wir, malah semakin sibuk."

"Padahal cuma bunga, apa spesialnya tanaman itu buat hadiah, karena yang terdahulu pakai metode itu? Tapi kenapa mereka memasrahkan diri masuk dalam kotak-kotak yang tersedia tanpa menyembulkan interogasi?"

"Cuma bunga menurut kamu? Mungkin nggak semua yang keliatan sederhana menghadirkan absensi pada kerumitan."

"Paradoks konyol." Semua individu itu baik sekaligus jahat. Tiap individu jujur sekaligus munafik. Dunia berjalan bengis selagi adil. Semuanya merangkap peran. Kabur, tidak ada label yang berfungsi ketika semuanya berkabut.

Wira tak pernah mengerti mengapa matematika tampak tak menggugah sama sekali, terlebih sejak kelas 4 SD, jika saja ia serius pada masa lampau, apa sekarang ia terbantu?

12 DKV-6

Padahal baru kemarin ia berusia 12 tahun dan bukan kelas 12. Ia tinggal berkedip dan ketika Wira merasa kemonotonan menggerogoti hari-harinya, justru banyak hal tak seperti biasanya, apa saja berubah.

15 September 2024

Sepekan lagi sebelum Wira meraih level 18, rasanya aneh sekali. Bagaimana bisa ia yang jadi orang besarnya sekarang? Panggung itu tersuguhkan leluasa di hadapannya. Lalu ia kikuk bermain peran.










Before 18 HitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang