(XIV) Lady Margaret?

18 4 5
                                    

Aku tak terbangun, tubuhku terlalu lemah; sakit. Bagaimana bisa seperti ini? Aku hanya ingin bersama keluargaku ....

Di sana, aku melihatnya. Di ruang keluarga yang penuh dengan bau kayu pinus dan masakan Ibu. Empat bangku yang tersusun rapi itu, tempat kami biasa duduk bersama, perlahan kehilangan penghuninya sejak Ayah menghilang. Waktu seakan berhenti di ruangan itu, hanya menyisakan kehampaan yang menusuk hati.

Ibu depresi, aku tak mengerti. Delan bersedih, jadi aku harus menjadi lebih kuat. Aku tak punya pilihan. Sejak saat itu, aku mulai belajar, memaksakan diriku untuk bisa mewarisi ajaran rumah ibadah dari Ayah. Tapi di balik setiap doa yang kulafalkan, selalu ada pertanyaan yang tak terjawab: kenapa kami? Kenapa keluargaku harus hancur?

Namun, tak lama kemudian, tragedi menjijikkan itu terjadi. Ibuku mati di sana-sendirian, di tempat yang seharusnya menjadi perlindungan terakhir kami. Dan aku? Aku dijadikan buronan atas kejahatan yang tak pernah kulakukan. Bangsawan sialan itu, mereka yang merenggut semuanya. Aku membenci mereka! Aku masih bisa merasakan hangatnya pelukan Delan di punggungku saat aku menggendongnya, seakan itu adalah cara terakhirku untuk melindungi dia dari dunia yang mengkhianati kami.

Senyumnya yang hangat, kecerdasannya dalam memanipulasi dan mengambil kesadaran dengan sihirnya ... Delan, adikku, kini sudah pergi dariku juga. Dunia ini terus merampas, tanpa pernah memberi kesempatan untuk bernapas.

Empat bangku abadi itu kini hanya menyisakan diriku, yang harus duduk di sana, ditemani bayangan masa lalu, memakan apa pun yang disediakan oleh cahaya tembus dari celah jendela.

.

"Kau tak mencariku."

.

"Sebagaimana kau kabur dariku."

.

"Seperti kau yang tak melindungiku."

.

Tidak! Tidak! Keluargaku tak akan berkata seperti itu!

.
.
.

"Denta, kau tak apa?"

Aku terperanjat, kepalaku terasa seperti dipukul ribuan kali. Suara yang menyapa membawaku kembali ke kenyataan. "Aku ... aku di mana?" Suaraku serak, nyaris tak terdengar.

Sambil memijat pelipis, aku mencoba mengenali siapa yang berbicara. Dia Oxy. Matanya terluka parah, begitu parah hingga tak ada cahaya kehidupan yang terpancar darinya. Hanya kehampaan. "Aku baik-baik saja. Tapi, di mana kita?" tanyaku, meski hatiku diliputi kecemasan yang sulit dijelaskan.

"Ah, setelah kau tak sadarkan diri, kami membawamu ke tempat yang dijanjikan sebelumnya-di pengungsian ini. Lalu kami akan merencanakan hal lainnya. Apa kau keberatan?" tanyanya sambil menatapku lekat, seperti sedang mencoba membaca pikiranku.

Aku mengangguk-meski sebenarnya tak peduli. Perasaanku mati rasa. Aku menggenggam tangannya, mungkin untuk mencari sedikit kehangatan manusiawi di tengah kekacauan ini. Oxy sedikit menegang, tapi kemudian tersenyum samar, seakan memahami kebimbanganku.

Kami berjalan perlahan melewati pengungsian. Tubuhku masih terasa lemah, tapi ada dorongan yang memaksaku untuk tetap melangkah. Di belakangku, Oxy mengikuti dengan langkah hati-hati. Meski matanya terluka, keteguhan dalam dirinya membuatku merasa sedikit lebih tenang.

Tenda-tenda berdiri berjejer di tanah luas ini, menjadi saksi bisu kehancuran yang melanda. Pengungsian ini bukan hanya tempat berlindung-ini adalah kuburan bagi harapan. Orang-orang yang melintas menatap kosong ke depan, wajah mereka diliputi keputusasaan yang tak bisa disembunyikan.

Di sudut pengungsian, seorang bangsawan berdiri dengan angkuh. Wajahnya begitu familier, begitu membangkitkan amarah. Aku tahu siapa mereka. Mereka adalah dalang di balik semua ini. Hatiku bergetar, dipenuhi kebencian yang membara. Aku mengepalkan tangan, kuku-kuku menembus kulit telapak tanganku sendiri.

Hole of Universe || Awakening✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang