Chapter I

431 98 13
                                    

"Aku udah di jalan, Mas."

"Kenapa nggak menginap semalam saja di Bogor, Jo? Kamu bilang, hujan kan? Bahaya nyetir hujan-hujan begini."

"Aku bakal hati-hati, Mas."

Zora mengemudikan mobilnya di jalan tol yang licin, ditutupi oleh hujan deras yang mengguyur. Wiper mobilnya bekerja keras, menghapus tirai air yang terus menerpa kaca depan. Hujan membuat jalanan berkilau samar di bawah lampu mobil, dan suasana malam terasa tenang meski basah.

"Lokasinya jangan dimatikan. Mas tunggu di rumah, ya?"

"Oke."

Panggilan masuk dari Sandy baru saja dia tutup dan kini hanya ada suasana tenang di dalam mobil. Untuk menghempas sunyi yang memeluk, dia menyalakan lagu guna menemaninya selama perjalanan. Namun, ketenangan itu segera pecah ketika sebuah truk besar yang melaju cepat tiba-tiba kehilangan kendali di tengah jalan yang licin. Dengan suara keras yang menggelegar, truk tersebut menabrak mobil yang ada di depannya, dan efek tabrakan beruntun menyebar cepat ke arah Zora. Tanpa bisa menghindar, mobil yang dikendarainya terkena dampak dari kecelakaan yang mengerikan ini.

Dalam sekejap, mobil Zora terguling, melayang di udara sebelum akhirnya terjatuh dengan keras ke aspal. Suara kaca pecah dan logam yang tertekan memenuhi malam. Hujan yang turun semakin deras, menambah kesan dramatis pada situasi yang mencekam ini. Mobil Zora terhenti dalam keadaan hancur, dan Zora, dalam keadaan kritis, terbaring di dalam kendaraan yang rusak parah.

Di tengah keadaan kritisnya, dalam detik-detik penuh penderitaan, Zora mengalami semacam pengalaman mistis. Gambar-gambar perjalanan hidupnya melayang di benaknya. Dia teringat hari-hari bahagia bersama Sandy, suaminya. Kenangan indah dari tujuh tahun terakhir bersama Sandy muncul satu per satu—saat-saat romantis, tawa, dan kebahagiaan yang mereka bagikan. Momen-momen itu terasa sangat hidup dan jelas, seolah-olah dia menghidupkannya kembali dalam pikirannya.

Hujan terus mengguyur, menambah kesan suram pada malam yang penuh tragedi ini. Ambulans dan mobil polisi datang mendekat, bersiap memberikan pertolongan. Namun, dalam keadaan kritis dan penuh harapan terakhir, Zora hanya bisa pasrah. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan remuk redam. Dia bahkan bisa melihat darahnya sendiri yang terus mengalir keluar.

Zora mengigil ketakutan, tetapi dia sudah tidak bisa menangis dengan suara. Sepasang matanya terpejam penuh pasrah, menunggu kapan waktu kematiannya akan tiba.

"Shaki, maafi Mami. Maafi Mami."

Dan Zora menyerah untuk terus sadar. Matanya sudah terasa sangat berat. Napasnya sudah tersenggal-senggal dan satu tarikan napas panjang itu pun akhirnya dihembuskan olehnya.

**

"Mas pulang aja. Biar gue yang jaga Zora di sini."

"Ck! Lo ngusir gue, hah? Mending lo yang pulang buat bersih-bersih. Tampang lo udah kayak gembel."

Zora merasakan sesuatu yang tidak familiar: sebuah rasa hangat dan lembut yang mengelilingi tubuhnya, disertai dengan perasaan perlahan yang mulai membangkitkan kesadaran. Suara bising dari mesin-mesin medis mulai menjadi lebih jelas. Dia merasakan getaran lembut dari suara-suara di sekelilingnya, percakapan yang samar, dan detakan jantungnya sendiri yang semakin terasa jelas.

Secara perlahan, Zora membuka matanya. Pandangannya kabur pada awalnya, dan lampu kamar yang redup tampak seperti bercak-bercak cahaya. Dia mencoba menggerakkan jari-jari tangannya, merasakan kekuatan yang mulai kembali. Perlahan, warna dan bentuk di sekelilingnya mulai jelas. Dia melihat siluet-siluet samar dari orang-orang di sekeliling ranjangnya.

"Jo, kamu udah bangun?!"

Zora tanpa sadar meringis ketika mendengar seruan kuat tersebut. Dilihatnya Atha mendekatinya dengan tergesah-gesah dengan sosok tak asing yang membuatnya menatap bingung.

My Dearest SandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang