Pergi sama satpam

825 125 7
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Darka masih diam, walaupun sesekali melirik ke arah Klarisa yang asik menikmati kopi panas sambil melamun.

Pikiran Darka berkecamuk. Rasa sabar setipis tisu miliknya semakin terkikis. Langkahnya mengarah cepat ke Klarisa, diletakkan cangkir ke atas meja lantas ia menyeret kursi ke hadapan Klarisa. Bokongnya mendarat di kursi itu.

"Jangan siksa aku, Kla," lirihnya pedih.

"Siapa? Aku? Siksa gimana?" kekeh Klarisa santai.

Suara serangga malam, angin dingin berhembus menabrak tubuh, tak dihiraukan keduanya. Masih saling berhadapan, duduk bertatapan tanpa niat berpaling sejenak.

"Kamu tau aku menyesal melakukan itu. Kamu nggak pantas, Kla."

Darka mendadak serius. Ya, ia akui mulai menaruh hati juga simpati kepada Klarisa.

Klarisa tertawa pelan, ia tutup mulutnya dengan telapak tangan sebelum lanjut bicara. "Sumpah ..., kamu kenapa?" Klarisa terkikik. "Menyesal buat apa? Apa bisa kembalikan semuanya? Kan ... nggak."

Sorot mata Klarisa redup, Darka tau rasa sakit itu tidak akan bisa hilang.

"Munduran duduknya. Ngapain hadap-hadapan kayak gini!" kesal Klarisa. Darka masih diam menatap Klarisa dengan arti sorot mata tersirat harapan untuk hatinya.

"Argh!" erangan kesal Darka membuat Klarisa kaget hingga memukul keras lengan Darka. Pria itu menjambak rambutnya sambil melemparkan tatapan sedih. Kedua mata berkaca-kaca, bibir rapat namun bergetar pelan.

"Aku ... dikejar rasa bersalah, Kla. Hidupku nggak tenang," isaknya. Klarisa menyimak.

"Cuma dengan kamu terima kehadiranku, terima niat baikku untuk perbaiki hubungan kita dari awal. Kenal kamu. Kasih perhatian ke kamu. Itu buat aku lega, Kla." Darka memukul-mukul dadanya dengan wajah sembab ia juga menjeda. "Anakku meninggal bukan salah kamu! Tapi salahku! Aku, Kla!" Nada bicara Darka meninggi. Klarisa terpaksa membekap mulut Darka dengan tangannya.

"Bisa biasa aja kan nada suaranya?! Mau semua orang datangi kita?!" geram Klarisa melotot. Darka melepaskan bekapan tangan Klarisa.

"Sifat kamu yang egois justru semakin bikin aku akan terus kejar kamu!" tekan Darka. Klarisa menggaruk pelipisnya, karena semua ucapan Darka bak angin lalu saja untuknya. Mati rasakah ia, atau memang Klarisa sengaja mempermainkan perasaan lelaki itu lebih dulu.

"Kamu paham nggak sih, aku serius?!" desah emosi terdengar dari Darka.

"Bawel, ya." Klarisa berdiri, masuk ke dalam karavan meninggalkan Darka yang diobrak abrik emosinya.

Darka menggeram tertahan sambil menjambak rambutnya lagi. Ia menghela napas kesal, air matanya masih mengalir tanpa ia sadari.

Rasanya sangat sulit mendapatkan apa yang ia mau kali ini, padahal perasaannya sungguh tersiksa.

Masuk ke dalam karavan, Klarisa sudah tidur dengan memeluk Cendana. Darka tidur di sofa panjang, tapi sebelum itu ia pandangi Klarisa yang terlihat sangat tenang. Kedua mata Darka terpejam erat menahan gejolak dalam dada, tak lama karena suara Ezio terdengar memanggilnya.

"Kenapa lo?" Ezio turun dari ranjang bagian atas. Merapakatkan jaket yang dikenakan lalu mengajak Darka keluar lagi. "Gue mau ngomong sama lo." Ezio menatap tajam. Darka kembali keluar karavan mengikuti Ezio.

***

Setelah liburan singkat yang membuat Cendana begitu gembira, Klarisa bersiap pergi ke makam putrinya.

Darka ikut serta karena ia meminta. Tujuan mereka pergi ke kota tempat penjebakan Hilman, tetap dijalankan. Tiket pesawat juga sudah dipesan Klarisa.

"Besok pesawat jam delapan, kita ketemuan di bandara aja," tutur Klarisa santai. Ia membuka sabuk pengaman bersiap turun dari dalam mobil. Darka diam saja. Dengan mengenakan kaos oblong putih polos dipadu celana panjang hitam, ia berjalan mengikuti Klarisa.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang