03

43 8 2
                                    

Ji Eun tak bisa menyembunyikan perasaan aneh yang menyelimutinya sepanjang malam. Pertemuan dengan pria misterius itu, yang sekarang ia ketahui bernama Suga, masih terbayang di pikirannya saat ia berjalan pulang melewati jalan-jalan kota yang sepi. Kata-kata pria itu—“Kau berbeda. Aku yakin kita akan bertemu lagi.”—terus terngiang-ngiang di telinganya, meski ia tak sepenuhnya memahami maksudnya.

Sesampainya di apartemennya, Ji Eun mencoba mengalihkan pikiran dengan pekerjaan yang masih menumpuk dan pelajaran yang harus ia selesaikan untuk lesnya. Namun, pikirannya terus kembali ke tatapan dingin namun intens Suga, dan bagaimana dia terlihat begitu yakin bahwa mereka akan bertemu lagi.

Di tempat lain, Suga sendiri masih memikirkan Ji Eun, sesuatu yang tidak pernah terjadi padanya sebelumnya. Biasanya, Suga bisa dengan mudah melupakan hal-hal yang menurutnya sepele, tetapi ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya terus berpikir. Wajah polos dan sikapnya yang sederhana membuatnya bertanya-tanya, apa yang membuat ji eun begitu berbeda dari orang-orang lain di sekitarnya. Ini bukan tentang penampilan atau cara bicara, tetapi lebih pada aura yang dibawa Ji Eun—sebuah ketulusan yang langka di dunia yang penuh dengan kepura-puraan.

Suga memandang keluar jendela kamarnya, menatap kerlap-kerlip kota di bawah. "Kenapa aku memikirkannya?" gumamnya pada diri sendiri, merasa bingung dengan perasaannya yang tak biasa ini.
.
.
.
.
.
.
Hari berikutnya, Ji Eun kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa—bekerja di kafe pada pagi hingga sore, dan les di malam hari. Namun, hari ini ada kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan. Setiap kali bel pintu kafe berbunyi, ia mengangkat kepalanya dengan harapan atau mungkin kekhawatiran, bahwa Suga akan kembali.

Namun, sepanjang hari berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran pria itu. Ji Eun merasa sedikit lega, namun di dalam hatinya juga ada perasaan kecewa yang tidak bisa ia pahami. Kenapa ia berharap pria itu kembali?

Sementara itu, Suga tengah duduk di kantornya, menatap laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Dia seharusnya bekerja, tetapi pikirannya kembali ke Ji Eun. Ada dorongan dalam dirinya untuk kembali ke kafe itu, meskipun ia tahu itu tidak rasional. Namun, Suga adalah pria yang tidak biasa mengikuti dorongan hati. Semua yang ia lakukan selalu berdasarkan logika dan strategi.

Akan tetapi, malam itu, dorongan itu lebih kuat dari biasanya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia mengambil jaket dan tanpa berpikir panjang, berjalan menuju kafe tempat Ji Eun bekerja.

Malam mulai turun ketika Ji Eun menyelesaikan tugas-tugasnya. Kafe mulai sepi, dan dia bersiap untuk menutup tempat itu. Bel pintu berbunyi tepat ketika dia hendak mematikan lampu, dan Ji Eun berbalik, merasa jantungnya kembali berdegup kencang. Di sana, berdiri pria yang sama.

Suga masuk dengan langkah tenang, seperti biasa. Kali ini, tidak ada pelanggan lain selain suga. Kafe sudah kosong.

"Kita bertemu lagi," kata Suga sambil duduk di meja yang sama seperti malam sebelumnya. Ji Eun hanya bisa menatapnya, berusaha menutupi keterkejutannya.

"Aku pikir kau tidak akan kembali," jawab Ji Eun, suaranya sedikit lebih stabil dibandingkan pertemuan terakhir mereka.

Suga mengangkat alisnya, seolah pertanyaan itu tidak perlu dijawab. "Kopi hitam, tanpa gula. Sama seperti kemarin."

Ji Eun mengangguk, berbalik menuju mesin kopi, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Saat dia kembali dengan kopi, Suga masih menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Tidak sedingin sebelumnya, tapi masih penuh rasa ingin tahu.

"Apa kau selalu bekerja keras seperti ini?" tanya Suga tiba-tiba, setelah menyeruput kopinya.

Ji Eun terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya, kurasa begitu. Aku harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan dan mengejar mimpiku."

Suga menatapnya dalam. "Apa mimpimu?"

Ji Eun terdiam, tidak mengira akan ditanya hal seperti itu. "Aku ingin membuka toko bunga suatu hari nanti," jawabnya akhirnya, merasa aneh berbicara tentang impiannya kepada pria yang hampir tidak ia kenal.

Suga memandangnya sejenak sebelum menjawab, "Toko bunga, ya? Itu terdengar... berbeda."

Ji Eun tersenyum kecil, tidak yakin apakah kata "berbeda" itu pujian atau ejekan. "Itu impianku sejak lama."

Suga memandang kopi yang telah di buat ji Eun di atas meja, seolah berpikir. "Apa yang kau lakukan untuk mewujudkannya?"

Ji Eun mengangkat bahu. "Bekerja, menabung, belajar. Aku mengambil les untuk mengembangkan keterampilanku di malam hari setelah bekerja di sini."

Suga mengangguk pelan, seolah menghargai usaha yang Ji Eun lakukan. "Kau tahu, tidak banyak orang yang sama seperti mu yang benar-benar mau berusaha untuk mengejar mimpi mereka. Kebanyakan orang menyerah ketika merasa terlalu sulit."

Ji Eun tersenyum tipis. "Mungkin aku hanya keras kepala."

Suga memandangnya dalam lagi, dan kali ini, ada sesuatu yang lebih lembut dalam tatapannya. "Keras kepala adalah kualitas yang bagus. Jangan pernah kehilangan itu."

Kata-katanya menggantung di udara, dan untuk sesaat, mereka hanya saling memandang, tanpa ada kata yang terucap. Namun, keheningan itu tidak canggung. Ada sesuatu yang nyaman di dalamnya, sesuatu yang membuat Ji Eun merasa bahwa mungkin, pertemuan dengan pria ini tidak seaneh yang ia kira.
.
.
.
.
.
.
Malam itu, ketika Suga pergi, dia meninggalkan sesuatu yang lebih dari sekadar tatapan dingin. Dia meninggalkan rasa penasaran yang semakin tumbuh dalam diri Ji Eun—rasa penasaran yang sama yang juga dirasakan oleh Suga.

To be continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang